Banyak orang mengeluhkan hari yang terlalu cepat berlalu dan mendapati dirinya hanya mengerjakan pekerjaan rutinan dalam rangka mencari uang untuk kebutuhan perut dan popularitasnya. Lupa akan kebutuhan batinnya untuk memberdayakan nalurinya, bahwasanya bekerja bukan soal mengejar atau membuktikan sesuatu, tapi lebih dari itu…. Bekerja harusnya menjadi ajang perayaan dan pengaktualisasian diri. Banyak cerita sukses beredar, mulai dari yang instan hingga penuh metafora, tentang bunuh dirinya politikus karena kalah diarena pemilihan atau tercorengnya nama baik si konglomerat karena ketahuan korupsi. Sehingga, setiap kali melihat peristiwa yang muncul diberita, kita begitu yakin bahwa cobaan seperti itu takkan terjadi di sekitar kita, terlebih pada diri kita sendiri, berita itu hanya tinggal berita. Tapi pemikiran semacam itu selalu mengkhianati kita, karena cobaan akan datang tanpa peringatan.
Waktu itu aku juga tak tertarik pada metafora yang disajikan oleh berita, sampai ketika tiba giliranku untuk menjadi bahan cerita dalam berita mereka…..
“Ini sebuah kesalahan. Benar-benar kesalahan besar,” sedari sore mama enggan menutup mulut, mengacak-acak rambut atau menggoyangkan pundakku sekenanya dengan kedua tangannya. Aku diadili habis-habisan atas berita online di website tak terkenal itu, padahal mungkin hanya seratus-dua ratus orang saja yang membaca, bukan berarti seluruh dunia tahu. Ini hanya kenakalan anak muda saja, tak perlu dilebih-lebihkan, Mama. Ah, tapi bibirku kelu tak bisa berucap melihat amarah mama yang membara. Ku harap ada keajaiban datang menyudahi ini.
“Tampaknya kamu selalu susah mengerti, Sophie-ku sayang. Kukatakan padamu bahwa Dara itu sinting, mengapa begitu susah memahami laranganku untuk tidak bergaul dengannya?” sekali lagi mama merengkuh pundakku dengan kedua tangannya, menggoyang-goyangkan badanku seolah aku mati tak sadarkan diri karena enggan bicara meski sudah 2 jam menerima murkanya.
“Sudahlah, Ma. Itu hanya berita sampah. Tidak perlu diperdulikan,” berkali-kali papa berusaha menyudahi.
“Aku sendiri tidak tahu, Mama” hanya kata-kata itu yang mampu lolos dari kekeluan lidahku.
Bel berdering. Papa membukakan pintu, Azhar menyelamatkanku kali ini.
“Boleh kami selesaikan berdua, Tante? Saya pinjam Sophie sebentar untuk makan malam” Ah, Azhar penyelamatku.
***
“Mau makan apa, Sophie?”
“Boleh kita hanya menunggu pagi di pinggiran pantai, Mas?”
Dua jam berlalu, tenggelam dalam kesunyian. Debur ombak dan semilir angin selalu berhasil menenangkan kekalutan hati dan pikiranku. Namun aku tak kunjung menemukan keberanian memulai pembicaraan, Azhar hanya mengarahkan kepalaku untuk bersandar di pundaknya.
“Mas…” Kuberanikan diri mengangkat kepala dan menghadapi wajahnya.
“Ssstt.. Tidak perlu menjelaskan apapun. Aku akan selalu memaafkan masa lalumu”
“Sudahlah, Mas. Jangan terlalu sepemaaf itu, hanya akan tambah membebaniku saja. Aku semakin merasa tidak patas untukmu, Mas. Bagaimana jika kita akhiri saja semua ini. Biar kamu tidak semakin malu karena aku”
“Sudah 4 tahun menunggu, setelah aku dapatkan, mana mungkin semudah ini aku lepaskan? Sophie, kamu sendiri sudah tahu bagaimana perasaanku yang tidak akan pernah goyah sedikitpun”
“Sekalipun selama ini aku hanya menjadikanmu tempat berlindung? Dan tempat sampah membuang segala ocehan memuakkan? Sudahlah, Mas. Kamu tidak perlu berkorban sejauh ini”
“Mengapa kamu tidak terima saja lamaranku? Kita menikah dan kau bisa memanfaatkan kebebasan yang bisa aku jaminkan padamu. Kamu bebas berlindung dan membuang sampah pikiranmu sepuas dan selama yang kaun inginkan, dan lagi kamu bebas menemui Dara semaumu”
“Hah? Kamu sinting, Mas!”
“Dengarkan aku…” Azhar meraih pundakku, matanya lebih dalam berbicara ketimbang kata-kata yang diucapkan. Aku belum pernah meragukannya, hanya saja cara dia mengekspresikan cinta dan kesetiaanya semakin membuatku merasa bersalah.
“Aku bukan Doni yang akan memukulimu tiap kali aku kesal. Aku bukan Setyo yang akan mengabaikanmu ketika aku sibuk, hingga tak memberi kabar sampai membuatmu kesal. Aku bukan laki-laki yang akan membuatmu ketakutan. Apa yang kamu bilang tempo hari? Menikah hanya akan membiarkan dirimu dikuasai atau didominasi oleh laki-laki? Tidak, Sophie. Kita bisa membicarakan semua kesepakatan sebelum menikah nanti”
“Aku tida bisa menjadi perempuan yang kamu dan orang lain sebut normal dengan menikah, lalu memiliki anak, mengasuh dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Aku tidak bisa, Mas”
“Sudah aku katakan, aku akan membebaskanmu. Hanya lewat menikah denganku kamu bisa memperoleh kebebasan yang selama ini kau harapkan. Aku tidak akan mengharuskanmu menyediakan makanan saat pagi dan menyiapkan bajuku untuk berangkat kerja, bahkan jika memiliki anak menjadi beban untukmu, aku membebaskanmu. Kamu bebas bergelut dengan segala karya dan kegiatan sosialmu. Semua bisa dibicarakan, Sophie-ku sayang”
“Sampai kapan kau akan tahan?”
“Sampai kau membiarkan hatimu menerimaku”
Tak ada kesepakatan. Tak perlu dibuat kesepakatan. Kuminta Azhar mengantarku pulang. Kepalaku pening, insomnia beberapa minggu ini semakin membuatku kesal. Langit-langit kamar berubah menjadi layar bioskop yang menyajikan sekelebat adegan mengerikan. Tentang segala peristiwa menyakitkan yang enggan tenang menggerumbul dalam otak. Kubacai berkali-kali berita yang mencatut namaku. Mereka bilang aku lesbi? Tahu apa mereka tentang diriku? Merilis berita tanpa mengkonfirmasi pada yang diberitakan, dimana nilai objektivitas dan kebenaran beritanya jika hanya mendengar dari katanya-katanya saja? Ini pembunuhan karakter namanya. Pseudo-berita, bukan berita. Hanya gosip. Hanya issu. Mereka tidak punya hak untuk mengumbar kisah pribadiku ke publik. Mereka sudah mengebiri ruang privasiku.
Mereka bilang lesbian itu menyalahi kodrat? Menjadi manusia yang natural berarti saling menyukai lawan jenis, sementara menyukai sesama jenis sama saja menyalahi kodrat. Kodrat yang bagaimana yang kalian maksud? Bukankah menuruti perasaan dan naluri yang berteriak keras dalam batin adalah bagian dari natural. Suka memakai pakaian laki-laki, enggan menempeli wajah dengan bedak tebal, atau memakai sepatu tinggi, lalu kalian seenaknya menghukumiku lesbi? Apa enaknya menjadi perempuan yang dielu-elukan keanggunanya karena memakai rok,berdandan, berbicara lemah lembut, penurut, selalu tersenyum, berjalan meliuk dengan sepatu tingginya? Ah, apa itu yang dinamakan kehidupan perempuan? Aku perempuan, tapi aku ingin hidup sebagaimana yang aku mau, tidak diatur oleh persepsi yang kalian ciptakan untuk dianggap sebagai perempuan ideal atau perempuan sejati. Yang kalian lakukan justru malah membunuh karakter perempuan yang sesungguhnya. Jika semua hal sudah ditentukan berdasarkan persepsi umum, untuk apa selalu ada kelahiran baru?
Ah, badan. Kumohon tertidurlah. Aku lelah dituding pikiranku sendiri. Otakku kelewat jenuh mencari-cari jawaban untuk memahamkan mereka. Aku memilih diam, mereka bilang aku menutupi jati diriku. Aku ceritakan jujur, mereka menghakimiku. Lalu dimana letak sesuatu yang kalian sebut hidup dan kehidupan jika aku sendiri kalian batasi ruang geraknya? Bukankah untuk terus hidup, manusia butuh ruang gerak dan ruang privasi? Kalian sudah keterlaluan melewati batas. Yang kalian lakukan bukan menjadikanku sebagai perempuan, tapi membunuh keperempuananku.
“Kalau dibilang melewati batas berarti tidak ada kebebasan. Kau menuntut kebebasanmu, sementara kau membatasi kebebasan orang lain untuk membicarakan hal tentangmu yang mereka anggap menarik”
Ah, tidak sekarang. Kumohon, kembalilah kau ketempat persembunyianmu, Denia.
“Izinkan aku menggantikanmu hidup. Aku yang akan membereskan kekacauan yang Andrea sebabkan, Sophie”
Aarrrggghh….. kutinju keras-keras kaca lemari di hadapanku. Pikiranku semakin tidak kondusif. Pergilah jauh-jauh hai diri-diri yang menyebalkan. Aku tidak mau kalian mengambil alih hidupku lagi. Ini hidupku, masalahku biar aku sendiri yang menghadapi.
***
Entah apa yang terjadi denganku semalam, begitu pagi menyeruak aku sudah terbangun di kamar Dara. Kamar ternyaman yang selalu menjadi tempat persembunyianku dari dunia yang selalu tak memihakku.
“Semalam Andrea yang membawamu ke sini. Ada apa lagi denganmu, Sophie? Jangan terlalu banyak memikirkan berita itu. Abaikan saja. Fokus pada penyembuhamu, jangan sampai kepribadianmu yang lain mengambil alih kehidupanmu. Untuk menang melawan mereka, kamu harus sehat. Sehat fisik dan pikir”
Dara adalah teman dekatku sejak kuliah, dia seorang psikolog yang selama ini aku percaya mengatasi kesakitan pikirku. Ya, aku menderita penyakit bipolar, kepribadian ganda. Aku memiliki 2 nama lain selain Sophie. Denia yang lembut, tegar, namun pesimis, dan hanya menginginkan dirinya tenggelam dalam dunia tulisan dan lukisan ketika masalah sedang bertandang. Dan Andrea yang periang, pemberani, optimis, dan penuh percaya diri mengungkapkan apapun yang ada dalam pikirannya, kesukaannya menari dan menyanyi dan satu lagi, naluri menyimpangnya…. Andrea membenci laki-laki dan lebih nyaman berhubungan dengan perempuan. Mungkin ini yang mereka sebut diberita sebagai “Lesbi”. Andrea menyukai Dara, mungkin karena dari Dara lah sahabat setiaku yang selalu memahami kondisiku. Setiap kali Andrea mengambil alih diriku, ia selalu datang menemui Dara. Dan Dara dengan sifat ke-ibu-annya membuat Andrea merasa nyaman. Menjadi petaka saat foto Andrea yang memaksa mencium Dara muncul dalam berita sampah itu. Entah siapa yang melakukannya.
“Maaf jika aku selalu merepotkanmu, Dara”
“Tenanglah, aku doktermu yang akan menyembuhkanmu,” ucapnya sembari membelai rambutku lalu memelukku dengan nyaman.
“Tenanglah, aku doktermu yang akan menyembuhkanmu,” ucapnya sembari membelai rambutku lalu memelukku dengan nyaman.
Ponselku berdering, Azhar menelfon, itu panggilan ke 30. Aku masih belum siap untuk berbicara dengannya. Tapi masalah ini harus segera diselesaikan. Setidaknya, meski aku belum memiliki keberanian mengakui abnormalitas kepribadianku, aku tidak boleh egois pada laki-laki yang selalu tulus padaku. Yang harus aku lakukan hanyalah terus berjuag membunuh kepribadianku yang lain untuk menikmati hidup ini.
“Ya, aku bersedia menikah dengamu, Mas Azhari Narendra”
Komentar
Posting Komentar