Sebut saja Tante Cendana, seorang ibu sosialita, mempunyai anak yang bernama Cempaka. Ia begitu bangganya dengan Cempaka yang meskipun tak pernah mendapat peringkat di SMA-nya namun bisa masuk perguruan tinggi negeri (paling) elit di Surabaya (katanya sih masuk dengan pelicin). Tidak seperti tetangganya yang sekalipun juara kelas, tapi hanya masuk “kampus pinggiran”. Sukanya up load foto di media sosial (medsos), baik facebook, instagram, twitter, line, whatsapp, path, dll. Sekali up load paling tidak 10 foto dengan caption yang dipikir matang-matang agar terlihat keren. Baginya, menjadi sosialita adalah kebutuhan untuk mendompleng popularitas suaminya yang katanya pejabat kelas atas.
Kesukaan Cempaka memakai almamater atau baju dengan logo kampusnya kemana-mana, nongkrong di mall atau jalan-jalan, widih, gengsinya pol-polan. Berasa slow motion kalau samar-samar ada yang menyebutkan nama kampusnya: menoleh, tersenyum manis, mengibaskan rambut, lalu melenggang bak model. Ia pun tak kalah kekiniannya dengan sang ibu, semua medsos berjejer di gawai canggihnya. Topik panas minggu ini yang ramai di kampusnya adalah si Pandan, anak Pak Wangi yang ditangkap karena kasus korupsi. Beritaya menjadi semakin heboh ketika foto Pandan (yang diduga editan) sedang mabuk muncul di akun haters, buru-buru Cempaka berkomentar nyinyir “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya: Dasar anak tukang korupsi”.
***
Cerita di atas fiktif belaka. Kesamaan cerita atau nama, ya mau bagaimana lagi. Namun sungguhpun demikian, secuplik narasi di atas sedikit mewakili kompleksitas kehidupan masyarakat kita di era informasi. Banyak orang menganggap pendidikan yang mahal yang berkualitas, yang elit yang mencerdaskan. Masuk kampus negeri hanya untuk meningkatkan status sosial, sebuah sistem nilai yang lebih menghargai status dari pada prestasi. Pendidikan untuk ilmu, pencarian kebijaksanaan dan keluhuran, bukan ajang pamer kebanggaan. Sebagaimana yang disampaikan Sayyidina Umar Bin Khattab, “ilmu ada 3 tahapan, jika memasuki tahap pertama dia akan sombong. Tahap kedua, dia akan rendah hati. Dan tahap ketiga, ia akan merasa bahwa dirinya tidak ada apa-apanya”.
Akan tetapi, pendidikan tidak lagi ditujukan untuk kerendahan hati apalagi keluhuran budi. Pendidikan berubah menjadi bagian dari gaya hidup, untuk mendongkrak status sosial si Bapak atau menjaga gengsi Si Ibu dan ajang keren-kerenan bagi si anak. Maka kemudian kualitas suatu lembaga pendidikan dibandrol dalam pasar komersil: kapitalisasi pendidikan. Tak heran jika sekolah tinggal pencetak selembar ijazah untuk menjadikan lulusanya mesin pencari kerja seumur hidupnya. Perihal rendahnya budaya membaca di Indonesia kemudian menyasar lembaga pendidikan yang dianggap gagal menerapkan pendidikan berkarakter, padahal pendidikan utama dan pertama anak adalah keluarga. Orangtua hanya mengajari si anak untuk bisa membaca, tidak untuk membiasakan membaca, selebihnya perihal pengajaran diserahkan sepenuhnya pada sekolah.
Lalu apa kabar dengan para intelektual Indonesia, masak nggak ada yang bisa memecahkan masalah di atas? Sayangnya, banyak ide-ide cemerlang para intelektual kita hanya laku di rubrik opini media cetak yang hampir selalu berakhir jadi bungkus kacang atau gorengan. Mengutip kata-kata Pramoedya A.Toer, bahwa rakyat kita adalah rakyat bocah, tangan bocah cepat penuh, mereka sangat peka terhadap lelucon. Sehingga tak heran jika berita yang menarik bagi masyarakat adalah berita dengan judul “Wow, ternyata begini…”, atau “Inilah rahasia….”. Masyarakat Indonesia bukannya rendah budaya membacanya, terlalu sempit jika budaya membaca hanya dibatasi dengan membaca buku atau jurnal ilmiah. Membaca berita online atau sekedar membaca informasi yang tersebar di medsos-pun dapat disebut membaca. Namun, yang menjadi permasalahan adalah nilai informasi yang dikonsumsi.
Gawai atau ponsel pintar sudah menjadi kebutuhan yang mendarah daging, banyak orang berbondong-bondong memiliki akun medsos. Bangun tidur langsung membuka satu per satu akun medsosnya, melihat sudah berapa orang yang nge-like. Kalau ada isu yang wow, langsung buru-buru komentar, meski komentarnya nggak jelas, yang penting ikut nimbrung. Makin banyak followers-nya, makin eksis makin terkenal. Nggak heran kalau berita hoax yang berseliweran bebas di dunia maya menjadi komoditi yang laku keras. Meminjam istilah Moch. Lubis, bahasa adalah sistem komunikasi yang kompleks, peka terhadap manipulasi yang disengaja atau tidak disengaja terhadap pemaknaan katanya. Manipulasi makna dan bahasa itulah yang kemudian populer disebut berita hoax. Ibarat makanan, hoax adalah junk food, meski dijuluki makanan sampah, sayangnya masyarakat kita lebih bangga masuk ke kedai modern sejenis Mc* atau KF* ketimbang makan di warteg yang menyajikan makanan ashli (pakai shod) cita rasa nusantara. Sebelum makan, cekrek cekrek dulu, edit foto semulus mungkin sampai makanannya dingin, up load, makan dengan tangan kanan, lewat tagan kiri sibuk berdialog daalam grup-grup medsosnya, populer di dunia maya, anti-sosial di dunia nyata.
Masyarakat jaman sekarang sudah berkembang menjadi masyarakat gila eksistensi: asal tampil, pikiran gampangan dengan solusi yang maunya praktis. Tanpa mengetahui latar belakang, asal komen tanpa klarifikasi dan konfirmasi kevalidan informasinya. Popularisme lebih dihargai ketimbang gagasan, mana yang paling banyak dikenal itu yang dibenarkan: kebenaran mayoritas. Lewat medsos, masyarakat semakin bebas nilai melakukan kritik, merasa dirinya seorang profesional dengan analisis teori yang kacau, asal comot nama orang terkenal sana-sini. Berkomentar nyinyir sudah menjadi hal biasa.
Berita hoax atau komentar nyinyir, ibarat rumput kering yang disulut sedikit sudah cukup menghasilkan kebakaran besar, mudah diprovokasi. Satu meneteskan bensin, yang lainnya dengan rela menyiramkan minyak tanah, lalu semua akan bersorak ketika apinya membubung. Dan tinggal menyesal ketika api hanya menyisakan abu kemudian. Tak butuh waktu yang lama untuk meratapi penyesalan, segera akan muncul berita baru atau pengalihan isu yang menarik untuk dimainakan kembali.
Menghadapi fenomena budaya berita hoax dan berkomentar nyinyir ini -oh maaf, bukan budaya, patologi budaya maksudnya- merupakan ironi era informasi. Sudah menjadi harapan tulus kita semua yang berfikiran sehat, bahwa alangkah bijaknya jika setiap berita yang kita dapat tidak ditelan mentah-mentah, melainkan dipilah mana yang benar mana yang hanya seolah benar/palsu belaka. Malas mengkonfirmasi atau bertanya juga bagian dari akar masalah, sebenarnya apa susahnya sih bertanya? Kalaupun malu bertanya pada yang bersangkutan, tinggal ketik kata kuncinya di go*gle, kita bisa memeriksa kebenarannya, asal jangan lupa memilah situs atau sumber yang bisa dipercaya. Ribet? Ya begitulah kiranya hidup di jaman sekarang, sebab untuk disebut manusia tak cukup hanya dengan dilahirkan, tapi butuh ilmu pengetahuan, dan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang shahih kebenarannya, harus pandai memilah sumber bacaan atau sumber informasi (Ls).
Komentar
Posting Komentar