SURABAYA KOTA PEDULI PEREMPUAN

*essay ini dibuat untuk mengikuti Sekolah Politik Perempuan


Jumlah perempuan dewasa ini boleh lebih membludak ketimbang laki-laki, banyak diantaranya pun turut mengisi sektor-sektor publik, namun posisi perempuan mayoritas berada di bawah laki-laki, terutama dalam bidang politik. Selama ini, politik dan perilaku politik dianggap sebagai aktivitas maskulin (independensi, otonomi, intelek, hirarki, dominasi). Sementara perempuan (kebergantungan, penuh emosi, kepercayaan, ketiadaan hirarki) dianggap sebagai kelas dua, dibawah superioritas laki-laki. Akibatnya, perempuan hanya ditempatkan di wilayah domestik saja, mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus suami dan anak, hal ini disebut pekerjaan non-produktif. Sementara laki-laki lebih mandiri dalam segala aspek publik, bebas memilih pekerjaan apa saja, ini disebut sebagai kerja produktif.

 Aktivitas politik diidentikan dengan sifat maskulin laki-laki. Sementara sifat feminis perempuan yang diidentikkan dengan kelembutan, kepatuhan, dan kemanjaan dianggap jauh dari citra pemimpin yang ideal. Dapat dilihat dari representasi rendah peran perempuan terjadi dalam segala tingkat pengambilan keputusan, baik ditingkat eksekutif, yudikatif, maupun birokrasi. Jaminan kuota 30% untuk keterlibatan perempuan dalam politik dan keterwakilan perempuan dalam parlemen masih belum memenuhi harapan, padahal angka 30% sendiri berdasarkan hitungan masih jauh dari kata adil. Namun aturan kuota tersebut setidaknya mulai memunculkan peran perempuan sebagai pemimpin. Sekarang semakin banyak perempuan di dunia legislatif, birokrasi, maupun jabatan politik lainnya, ada beberapa Bupati perempuan dan Wali Kota perempuan, demikian pula Kota Surabaya ini yang dipimpin 2 periode berturut-turut oleh seorang Perempuan, Tri Rismaharini.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Surabaya patut dijadikan percontohan dalam 3 hal, yaitu: pengarusutamaan pemerintahan yang baik, pembangunan yang berkelanjutan, dan pengarusutamaan gender. Salah satu program Pemerintah Kota Surabaya dalam memperjuangkan kemajuan perempuan adalah di-launching-nya “Surabaya kota peduli perempuan”. Hal ini berawal dari usaha pemerintah kota dalam upaya memaksimalkan
kesejahteraan sebuah keluarga, karena keluarga adalah unit terkecil masyarakat. Dimana
diharapkan jika tiap-tiap keluarga terpenuhi kesejahteraannya, maka sejahtera pula Kota Surabaya.
Beberapa kebijakan pendukung “Surabaya kota peduli perempuan” diantaranya, adanya
ruang khusus untuk menyusui yang tersebar di banyak ruang publik, contohnya di Balai kota,
Terminal Purabaya, tiap-tiap Mall, dan stasiun. Disediakannya pos pengaduan hak-hak perempuan
mulai dari tingkat kelurahan dan kecamatan. Ada pula program perlindungan ibu hamil (mulai dari
usia kehamilan 7 bulan) hingga melahirkan dan sampai anak berumur 3 tahun. Bahkan, hal yang
sangat membanggakan yang dapat dicapai di era pemerintahan Ibu Risma ini adalah
ditempatkannya 50% pejabat perempuan sekelas kepala dinas hingga ditingkat lurah dan camat
(mendobrak kebijakan kuota 30% di atas) . Contohnya, Ibu Chandra Oratmangun yang menjabat
sebagai Kepala Dinas Pemadam Kebakaran, dan mungkin beliau adalah satu-satunya perempuan
di dunia yang menjabat sebagai kepala pemadam kebakaran. Ada pula Ibu Erna yang menjabat
sebagai Kepala PU Bina Marga.

Perempuan dan politik memang masih merupakan dua hal yang menjadi perdebatan.
Namun sesuai dengan perkembangan jaman, di era modern ini, cara berfikir yang demikian harus
sudah mulai di rekonstruksi ulang. Sebagai seorang perempuan modern, haruslah paham dan sadar
bahwa hanya perempuan sendirilah yang mengerti tentang apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi
perempuan yang berkemajuan. Karena sekali lagi, gender hanyalah konstruksi/rekayasa sosial
yang tumbuh subur dalam budaya masyarakat sekian lamanya. Mencabut akar kebudayaan yang
sudah terlanjur menghunjam dalam memang butuh usaha yang keras dan lama yang harus disertai
kesabaran dan keistiqomahan. Berbagai upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam
kehidupan politik haruslah terus digencarkan, yang nantinya akan diharapkan memberikan
perubahan cara pandang tentang budaya patriarkhi, sehingga lahirnya pemimpin perempuan tidak
lagi dianggap tabu dibandingkan dengan keharusan laki-laki sebagai pemimpin. Surabaya dengan
kebijakannya yang me-launching “kota layak perempuan”-nya adalah sekian kota di Indonesia
yang sudah memulai langkah nyata kepedulian terhadap perempuan (Ls).

Komentar