Kita
hidup dijaman invasi teknologi, dimana sosial media seolah menjadi kebutuhan
pokok bagi pengguna yang mengaku manusia modern. Tak ayal, segala informasi
bisa didapat hanya lewat genggaman tangan dan jentikkan jari, bukan hanya
kemudahan dan kecepatan akses namun juga
dapat terjebak oleh semesta informasi dari saking banyaknya yang bisa didapat.
Contohnya
fenomena menjamurnya siraman rohani di teve atau situs-situs media sosial
lainnya ketika ramadhan. sebagai mahasiswa yang notabene disebut sebagai
generasi intelektual harusnya dapat membedakan mana yang benar-benar ustadz
mana yang hanya disebut ustadz hanya karena panggilan prestisius, sekedar pernah
tampil dalam beberapa forum pengajian maupun acara keagamaan yang di framing
oleh teve atau media yang penyampaian pesannya dibungkus secara marketable. Selayaknya, sebutan ustadz
adalah julukan yang diberikan karena keilmuan yang sesuai kompetensi yang
digeluti dan pengalamn keberagamaan dalam waktu yang memadai, bukan serta merta
karbitan muncul secara masiv di teve
atau menjamur di media ketika ramadhan, yang kebanyakan hanya menyampaikan
pesan keagamaan secara simplikatif bukan subtantif apalagi esensial, asal yang
mendengarkan senang.
Maka,
agar kita terhindar dari imam taqlid, apalagi taqlid buta (beriman/beribadah
hanya sekedar ikut-ikutan tanpa menelusuri kebenaran informasinya), diperlukan
kemampuan menyaring informasi, mana yang valid mana yang hoax, mana yang
berdalil mana yang hanya argumentasi tanpa dasar, sebab dalam hal beribadah
kita harus bermadzhab, tidak sekedar taqlid buta (Ls)
Komentar
Posting Komentar