Ketika aku lelah, kufikir istirahat menjadi pilihan yang
bijak. Tapi ketika aku terlalu sering meminta istirahat, ternyata kau memilih
berjalan lebih dahulu meninggalkan aku di sini.
“Kita sahabatan saja, tidak lebih tidak kurang”, ucapan itu
menusuk dan menyesakkan, bahkan bernafas dalam alih-alih mengusir sesak di dada
sama sekali tak mempan.
Kau menjauh, aku hanya tertunduk dalam tangis. Susah menahan
rindu, sesekali tangan ini nakal tak tahu diri mengirimkan ping! atau sekedar
sapaan hai, tapi kau hanya membaca tanpa punya minat membalas.

Aku tak seberapa paham tentang sakit dan kecewanya dirimu
terhadapku, karena kau menolak untuk menjelaskannya. Aku? Bisaku hanya mengutus
kata. Menceracau sekenanya dan sepuasnya atas apa yang sedang aku rasakan. Maaf
jika rindu ini mengganggumu.
Maka, sampailah saat ini pada keharusan terhadap kerelaan
diri…..
Hai, diri! Jatuh cintalah. Hai Kau, jatuh cintalah pula
dengan cepat pada selainku. Agar kita tak
lagi saling mengaku menjadi yang paling
patah hati.
Hai, diri! Jatuh cintalah pelan-pelan, jangan sekaligus. Agar
lain kali sakitnya juga tak sekaligus menghancurkan perasaanmu.
Jatuh cintalah pelan-pelan, sembari menata dan meraba kadar
kepercayaanmu.
Jatuh cintalah! Sebab sayapmu sudah terlalu lama terkulai,
ia rindu mengepak dan terbang mencari celah semesta untuk menemukan perihal
keindahan lain dari seninya hidup. Sebab hidup adalah perkara kehidupan yang
hakikatnya selalu bergerak dan berubah. Sebab mati perkara berhenti. Dan aku,
masih belum mau berhenti sekarang. Hidup ini indah, maka nikmatilah. Jelajahi dunia
yang belum disentuh oleh ruang pengetahuanmu, Ls.
Jatuh cintalah. Karena saat sesuau berakhir, ingatlah akan ada
sesuatu yang baru di depan kita. Berhenti meratap, mulailah menatap masa depan dengan
mantap. Sebab spion tidak pernah lebih besar dari kaca depan pada mobil,
menoleh seperlunya, fokus melihat kedepan seluruhnya (Ls).
Komentar
Posting Komentar