INI HIDUP, HIDUPI DAN HIDUPKANLAH


Jangan pernah berputus asa dari rahmat Tuhan. Bangun, bangkit dan berangkatlah ke masjid….
Nurani mulai berani memberikan surungan semangat untuk terus melanjutkan hidup tanpa banyak mengeluh. Dompet semakin menipis, untuk menguranginya aku tak tega karena masih harus dialokasikan untuk nge-print revisi skripsi. Ramadhan datang, banyak masjid menyajikan takjil dan nasi bungkusan untuk buka puasa, mengapa tak digunakan saja kesempatan itu. PPT, para pencari takjil, katanya. Hehe

Jarak antara kosan dan masjid kampus sekitar 10 menit jalan kaki. Sore menjelang adzan maghrib jalanan bertambah sesak ramainya. Penjual gorengan dekat kosan selalu ramai pembeli mengantri menambah sesaknya jalan raya. Tukang becak masih tetap saja duduk malas menanti pelanggan.

Bapak itu selau mangkal di depan kampus dekat pertigaan kampus, sejak aku baru kuliah hingga kini sudah semester “seakhir” ini. Terkadang bapak itu melempar senyum pada beberapa mahasiswa yang melewatinya. Rambutnya mulai beruban dan coklat matanya sudah mulai diliputi lingkaran keabuan tanda penglihatannya mulai menurun. Ia pindah ke Surabaya sejak 10 tahun yang lalu. Menyewa sebuah rumah kecil dengan anak, mantu dan cucunya. Sebenarnya tak patut pula disebut rumah karena sejatinya hanya terdiri dari sebuah kamar tak lebih dari ukuran 3x4 meter, kamar dan ruang tamu menjadi satu.  Hampir setiap malam ia tidak tidur di rumahnya, ia tidur sambil tetap menjaga becaknya karena tidak akan cukup untuk tidur di rumah. Sesekali aku lihat pula ia keluar dari masjid kampus, mungkin pula untuk sholat atau sekedar menumpang mandi.

Atau beberapa anak kecil yang setiap hari nangkring sekitaran fakultas menawarkan koran dengan cukup memaksa setiap yang lewat membelinya sambil memohon-mohon dan memelas. Setelah seharian dalam kampus, jika masih ada sisa koran, mereka jajakan di lampu merah depan kampus. Di dalam kampus yang se-elit ini, anak kecil dibiarkan berkeliaran menjajakan koran.

Miris melihatnya, kadang lebih miris lagi dengan diri sendiri yang belum mampu membantu. Masa kanak-kanaknya sudah direnggut sedini itu, entah bagaimana lagi dengan masa depannya. Entah bagaimana dengan orang tua dan keluarganya, mungkin pula senasib dengan anak-anak itu sehari-hari berkeliling dijalanan demi mencukupi kebutuhan perut atau pula beberapa lembar pakaian, entah dengan tempat tinggalnya. Padahal seiring perkembangan jaman, sudah tidak cukup lagi kebutuhan dasar manusia di dasarkan pada sandang, pangan, papan. Kebutuhan sudah berkembang pula dengan tambahan pendidikan dan kesehatan. Katanya, geladangan dan pengemis menjadi tanggungjawab pemerintah, dibuktikan dengan didirikannya rumah sosial, entah berupa panti jompo, panti asuhan untuk yatim piatu, atau panti sosial lainnya. Namun realitanya selalu tak seindah keharusannya, masih ada banyak gelandangan, pengemis, penjual Koran atau sejenisnya yang meramaikan jalan raya atau tempat-tempat publik lainnya. Banyak diantaranya sebatas transaksi illegal.

Katanya Surabaya berkali-kali mendapat penghargaan KLA. Taman-taman dibangun dengan megahnya, perbaikan jalan dan renovasi bangunan berjalan di sana-sini tapi belum semua masyarakatnya hidup dalam kategori layak. Dilematis memang, tata kota terus diatur dan diperindah mungkin tujuannya baik, dapat memperbanyak ruang publik atau kesan modern terhadap image bahwa Surabaya semakin maju semakin asyik semakin high gaya hidupnya.
Terkadang, ketika melewati perumahan elit bertingkat dengan interior atau eksterior yang memukau yang masing-masing dipagari tinggi-tinggi seolah memperlihatkan keengganan antar pemilik rumah untuk bersosialisasi, mencipta sekat. Bahkan ada yang matipun tak akan ada yang tahu. Atau gedung-gedung yang tinggi menjulang. Kesemuanya itu kadang membuatku bergidik. Aku yang anak desa ini, menyaksikan, memasuki dan beberapa saat menikmati keindahan itu serasa membuatku menciut. Keindahan itu serasa pongah, seolah menunjukkan kekayaan sang pemilik, sementara aku, si anak desa ini? Apa yang aku punya? Ah, kemegahan itu cukup menjadi indah dipandang mata saja, jangan sampai merasuki nafsu kemudian bersekongkol untuk lalu berambisi jua ingin memilikinya dengan menghalalkan segala cara. Duh, apa pula yang aku ocehkan….. 

Sampai juga aku di masjid, sudah banyak orang yang mengantri takjil, sebentar lalu sembari wudhu dan sholat tahiyatul masjid, adhan berkumandang dengan syahdunya. Tenggorokan terbasahi, ibadah puasa hari ini semoga menjadi amalan dan pelajaran berharga untuk semakin meningkatkan kualitas diri. Serasa aneh dan asing mungkin, sementara yang lain berbuka sambil mengelompok aku hanya duduk sendiri, tapi tak  apa bukan? Kesendirian itu lebih baik dari pada merepotkan atau mendzolimi diri sendiri tetap di kamar dan membiarkan perut tak mendapat jatahnya.

Tarawih segera dmulai. Hatiku masih saja meributkan hal yang harusnya dilupakan. Pikiranku ikut-ikutan bercabang tak karuan. Mendadak malu pada Tuhan, bahkan ketika menghadap-Nya pun aku masih memikirkan makhluk-Nya yang lain. Menjadi hal yang wajar kan seharusnya? Ini tidak aneh atau diserupakan dengan kejadian luar biasa. Ini hanya masalah cinta yang kandas saja. Tapi lumayan menggangu. Ah tidak, sangat mengganggu. Sementara dia belum tentu juga terganggu oleh pikiran yang sama sepertiku. Relakan segera, sesali seperlunya, benahi diri semaksimal mungkin. Tuhan tidak akan pernah salah memberikan luka tanpa obat. Yang perlu dilakukan hanyalah membiarkan luka itu sembuh, jangan terlalu sering disentuh apalagi dirobek hingga koyak kembali.

Hidup ini penuh dengan kotak Pandora, setiap kotaknya beragam isinya. Sekalipun berebut kotak yang sama dengan orang lain, belum tentu bungkus kotak itu semenarik isinya. Isinya kejutan, ada yang berupa kesempatan, kekecewaan, kebahagiaan, kesenangan, duka yang mencekam, kehilangan atau yang lainnya. Buka dan carilah kotak Pandora sebanyak mungkin, semacam perburuan harta karun. Karena semakin banyak yang kau buka, semakin banyak pula hal yang dapat dipelajari. Jangan hanya terpaku pada atu kotak saja, entah itu karena isinya yang begitu mencengangkan tak terkira bagus dan indahnya, sehingga tak rela untuk meninggalkannya atau sebegitu menyakitkannya sehingga takut kotak selanjutnya juga berisi hal yang sama atau lebih menakutkan. Tapi ini hidup, satu-satunya yang pasti adalah ketidak pastian itu sendiri. Ini kehidupan, satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Ini dunia manusia, beranjaklah dari momen yang berlalu dan bersiaplah dengan momen yang baru.


Apa yang perlu dikhawatirkan, sebab takut untuk tidak bisa makan esok hari adalah sama saja meragukan Tuhan? Meragukan kuasanya bahwa Tuhan sudah menjamin kecukupan rizki bagi makhluknya diseantero semesta? Yang perlu dilakukan adalah berikhtiar, berusaha, bekerja. Kerja, kerja dan kerja. Meminjam perkataan Presiden Jokowi, kerja akan menghasilkan karya sedang malas hanya menghasilkan alas an. Maka tak perlu mengelihkan pekerjaan yang tidak bisa kita kerjakan, cukup kerjakan pekerjakan yang bisa dikerjakan tanpa banyak mengeluh. Hidup ini bukan untuk dimatikan sekehentak diri, tapi hidup ini untuk dihidupkan agar dapa menghidupkan kehidupan yang berpenghidupan bagi semua hal yang hidup. Ini hidup, hidupi dan hidupkanlah (Ls).

Komentar