Mataku nanar,
berkaca-kaca. Kuteguhkan saja hati ini hingga menjauh dari ruang dosen.
Hari ini aku janjian dengan dua dosen pembimbingku. Ah, skripsi…. Belum selesai juga ceritaku bersamanya. Dan mungkin memang benar, masa-masa skripsi selalu mempunyai sisi cerita tak terlupa. Mengaduk emosi dengan berbagai pergulatannya, tak hanya otak tapi juga perasaan. Mungkin aku terlalu cengeng, gampang menangis dan terlalu mendramatisir atas apa yang menimpaku. Tapi bukankah memang demikian adanya manusia itu?

Tuhan memiliki skenarionya sendiri untuk mengatur tiap peristiwa. Aku selalu terharu dengan cara Tuhan menyapaku lewat orang-orang disekitarku. Memang manusia tidak pernah sendiri atau sendirian. Ada banyak orang lain yang akan saling terkait sejak saat kita dilahirkan. Tidak bisa tidak untuk tidak saling merepotkan atau saling membantu. Sekalinyapun orang yang membantu kita belum pernah membantu atau orang yang membantu kita belum pula kita balas bantuannya. Namun hidup memiliki caranya tersendiri yang membuatnya terus berkait dan berjalan sekalipun ada banyak orang yang memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Pertanyaan itu
terlontar di dalam salah satu percakapan warung kopi, ah bukan warung ronde di
jalan biliton kala hujan di malam hari begitu nakal menggoda, kami berteduh dan
sama-sama menerawang jauh pada kumpulan cahaya yang berpendar dari lampu motor
atau mobil yang melaju di depan kami. Kala itu aku mengdahapi masa-masa
sulitku. Sinting sesinting-sintingnya kesintingan yang pernah aku alami. Satu masalah
datang, aku abaikan. Masalah lain mengekor, aku lari. Masalah lain bertandang,
aku mengalihkan perhatian. Masalah lain mengeroyok, aku sinting. Omonganku semakin
tak bisa kukontrol. Pikiranku kacau. Menangis, mengeluh, mengoceh, sinting.
Kala itu,
betapa bodohnya aku hanya terus menangisi masalah. Memuja-muja kehebatan masalah
yang sudah berhasil membuatku nyaman menikmati sakit dan keterpurukan. Ah, lucu
sekali.

“Mungkin tidak
ada. Hanya mengoceh ingin mati tapi masih takut merasakan sakit sebelum mati. Atau
takut sama dosanya” jawabku sekenanya.
“Haha. Berari
kamu belum mau benar-benar mati. Ada banyak cara yang bisa dilakukan jika
memang sudah benar-benar ingin mati. Saat ini saja kamu bisa tiba-tiba loncat
ke tengah jalan raya”
Benar juga
katanya, aku hanya mengoceh saja. Setidaknya dia pernah mengiris-iris tangannya
sendiri hingga lemas darah berceceran. Aku mengeluh tak berguna, terlalu banyak
merepotkan orang. Tapi dia pernah mengalami yang lebih parah dariku. Ah, si
pengeluh….


Dan pada titik ini, kesadaranku semakin
menyadarkanku. Bahwa beginilah cara manusia hidup. Satu butuh bantuan, yang
lain butuh untuk membantu. Terimakasih (Ls)
Komentar
Posting Komentar