SEPENGGAL CHAPTER DI BANYUWANGI

Pengalaman itu telah berlalu, tapi tak ada salahnya jika cerita itu aku abadikan dalam deretan kata-kata, bukan? Kan menyenangkan bagi pengingat jangka pendek sepertiku ini jika dikemudian hari dapat mengenangkan apa-apa yang sudah lewat.

Kali ini aku menjajal diri melakukan perjalanan ke Banyuwangi, suatu kabupaten tepat sebelah kampungku (ya, setidaknya satu stasiun setelah Kalisat sudah memasuki wilayah Banyuwangi). Ini kali pertama aku menginjakkan kaki di Bumi Banyuwangi. Entah keberanian atau kenekatan macam apa ang menguasai pikiranku kala itu, berani saja meningggalkan ujian terakhir untuk berangkat dengan kereta, bermodalkan kepercayaan pada beberapa orang yang hanya satu dua minggu kukenal.

Jum’at, 08 Januari 2016 subuh aku tiba di Stasiun Karang asem, setengah jam menunggu jemputan, lalu sarapan pinggir jalan untuk selanjutnya bermain poker di basecamp PK PMII UNTAG. Malamnya setelah duduk di kursi penonton di lapangan futsal, kami merangsek ke Pantai Boom, ngopi sejenak untuk selanjutnya seperti anak kecil menangis sejadi-jadinya mengadu tentang masalah, kesulitan dan segala apa yang membuat pikiran penat dikerubungi segala hal yang tak jua dapat aku selesaikan. Ya, memang begitulah manusia to. Bahkan untuk mengobati sakit harus terlebih dahulu merasai sakit. Kehidupan manusia, entah dalam cerita dari mulut ke mulut, di buku cerita, novel ataupun sekedar cerpen dalam koran harianpun hanya akan terlihat menarik jika ada konflik, ada kesulitan, masalah dan kesakitan, bukan? Perihal kebahagiaan hanyalah keinginan yang selalu manusia ingin capai, itu manusiawi. Tapi kebahagiaan yang terus menerus pun akan terasa membosankan pula, bukan?

Apalah yang manusia macam aku ini harapkan? Selalu mencari orang yang jauh dari lingkunganku untuk menjadi tempat sampahku, tempat sampah dari segala keluh, segala kesah, segala racauan sinting tentang ratapan hidup. Tapi, bukankah memang kehidupan adalah hal yang paling nyata daripada pendapat siapapun tentang kenyataan? Itulah mengapa banyak orang yang suka  mendramatisir masalahnya seolah menjadi orang paling menderita di dunia ini, karena begitulah psikologisnya manusia. Adakah orang yang cekikikan sendiri merasa bahagia dengan kesulitannya sendiri? Ada, mungkin tak banyak.

Semalaman kami meracau tentang diri, masalah, ombak dan pantai, dan sesekali perhatian teralihkan pada langit. Sepertinya badan sudah kedinginan dan mata butuh istirahat, subuh datang, kami kembali ke basecamp, bersih-bersih diri, sholat dan untuk kemudian berencana menikmati sunrise di pantai, namun lelah tak dapat dibantah, aku bahkan tertidur masih dengan mukena di tempat sholat. Tapi sunrise di Pantai Cemara ini kemudian terlaksana tepat pada saat aku hendak mengakhiri perjalanan ini, di hari senin paginya.

Hari ke-2 di Banyuwangi, Gus Arie yang sejak awal bersedia, bahkan dengan terlalu sabarnya, bersedia mengantar jalan-jalan. Kami menuju Air Terjun Kembar, dan tak jauh dari situ ada lagi Air Terjun Kethegan. Sempat mandi di bawah Air Terjun Kethegan. Sudah lama pula tak berenang.  Sudah lama pula tak riang dibanjiri air. Aku mencoba menkmati liburan awal tahun ini, siapa tahu lain waktu tak bisa begini lagi.....

Malam harinya kami berangkat ke Ijen, meski sempat maghribnya basah kuyup dan sejenak tertidur menyiapkan fisik untuk mendaki. Terakhir kali aku muncak bulan Agustus tahun lalu, kali ini mari memulai lagi lelahnya mendaki, banyak racauan putus asa dan ingin turun saja, tapi hanya racauan saja, toh untuk benar-benar turun tak mau untuk dimungkinkan, rugi, eman. Hehe

Kantuk meraja, dingin semakin menggigit. Tapi bukankah memang begitu? Gunung itu adalah tempat bersemayamnya para Dewa, katanya, maka manusia tidak diciptakan untuk tahan dengan cuaca dan keadaan yang demikian. Keluhku dalam hati. Namun beda hal dengan para penambang belerang, mereka terlihat sudah biasa dan menikmatinya. Lalu kurang bersyukur apalahgi diri ini? Masih suka menangis bawang meratapi masalah sendiri sedang kerja tak sekeras para penambang itu?

Blue fire tak dapat, mungkin karena kabut yang lumayan tebal dan habis turun hujan. Tak apa, bagiku panorama pegunungan sudah sangat memuaskan batinku. Bagian mana dari semesta ini yang tak dilukis indah oleh Sang Maha Pencipta? Hanya tinggal bagaimana kita menikmati, mensyukuri dan memperlakukannya.

Lelah tak dapat disangkal, setelah sampai di basecamp Cabang Banyuwangi, lelap sudah menunggu untuk mengobati lelah dan kurang tidur sejak hari-hari kemarin. Hari minggu itu memang dimaksudkan untuk beristirahat untuk selanjutnya esok harinya kembali ke Surabaya. Selama di sini, yang membuat hatiku terpejut adalah betapa cengennya aku, merengek akan masalah sendiri sedang orang-orang yag kutemui ini pula memiliki masalahnya masing-masing yang bahkan lebih besar dari pada masalah kepunyaanku. Ada yang rajin menghadapi laptop, mengerjakan skripsi kataya, nuraniku merasa dilecehkan, mengapa aku tak bisa seperti dia. Segera selesaikan skripsimu, begitu pekik batinku. Setelah sekembalinya aku ke Surabaya, sempat berapi-api aku mengerjakan skripsi  untuk kemudian mulai temaram kembali hampir padam karena fokusku teralihkan pada menahan sakit akibat pengobatanku.

Aku mengutuk dalam batin, mengapa hanya sakit sebegini saja banyak mengeluh? Ah, kiranya memang aku bukan manusia yang tahan berlama-lama dengan sakit. Lalu Tuhan berbaik hati memberikanku sakit agar bisa belajar bagaimana caranya meredam dan menahan sakit. Kuanggap saja ini caraku menjalani proses belajar bagaimana caranya memperlakukan sakit, semoga setelah ini akan terbiasa dan bijak menanggapi bagaiamana sebaiknya menghadapi sakit.

Tiga hari di Banyuwangi, kota yang baru aku jelajahi diusia 22 tahun ini, padahal jaraknya tak lebih jauh dari rumah-surabaya. Haha, payah. Tak apa, memang katak yang sudah lama dalam tempurung, butuh waktu untuk mengerti betapa membosankannya hanya mengungkung diri dalam tempurung yang bisa jadi juga tak ia pahami terbuat dari apa tempurungnya, begitu si katak berhasil keluar dari tempurungnya, keluar menikmati udara panas Surabaya, mengerti pergaulan yang bisa jadi tak sepenuhnya sesuai dengan apa yang selama ini diajarkan, minder pada awalnya namun pada titik ini, si katak justru tak mau cepat-cepat pulang ke dalam tempurungnya. Masih ingin berlama-lama dan berjauh-jauh melakukan perjalanan pada setiap jengkal tanah negerinya.

Persahabatan memang penuh dengan mantra ajaib, ah bukan, tanpa dimantraipun selalu membuatku diliputi keberuntungan dan keajaiban. Tak perlu jaminan keselamatan dan kepercayaan, meski baru kenal, bolehlah aku yang meski seorang perempuan ini yang katanya rentan jika bepergian sendirian, dapat pula melakukan perjalanan sendiri untuk lalu mempercayakan diri pada sahabat yang dapat ia temui di tempat tujuan. Terimakasih banyak, sebanyak jumlah yang tak bisa dijangkau atas kebaikan hati kalian, sahabat-sahabat Banyuwangi, terlebih untuk Gus Arie yang bersedia kucuri waktu tiga hari waktu sibuknya untuk sekedar meladeni permintaanku untuk menjelajahi keindahan alam Banyuwangi. Semoga silaturrahim tak terputus dari sebatas pertemuan saja, karena banyak sahabat itu menyenangkan, bukan begitu? (Ls).

Komentar