SAMPANG-WARTA UNAIR - Kamilah ksatria airlangga yang kali ini tengah menikmati kehidupan pedesaan dalam agenda KKN-BBM angkatan 50 Universitas Airlangga. Ada banyak kisah menarik kami alami, mulai dari perbedaan budaya, bahasa, tradisi dan gaya komunikasi.
25 Hari di Langit Madura
Di sini, di Desa Rohayu. Dengan tanah gersang. Sepanjang jalan dikerubungi tanaman kering dan ringkih kekurangan air. Kondisi jalan berbatu dengan sisa-sisa aspal yang menunjukkan bahwa beberapa tahun silam pernah ada jalan beraspal. Tapi inilah sejumput bentuk pengabdian kami, 11 ksatria airlangga yang terdiri dari Dewa (koor kelompok), Nizar, Liseh, Hari, Sari, Ade, Zulfa, Zuhria, Tika, Devi dan Nabila.
Ada banyak kisah miris dari desa ini, semisal kisah SD negeri yang digusur gegara sengketa tanah. Lalu sekolahpun kembali dibangun di lokasi lain dengan dana ganti rugi dari pemerintah Kabupaten Sampang. Alhasil, ruangan yang terbangun hanya 4 ruang. 1 ruang guru, 3 ruang kelas yang masing-masingnya disekat kemudian satu ruang dijadikan dua kelas.. Kadang dalam satu kelas hanya ada dua siswa yang masuk, yang lain bolos dengan alasan menemani ibu jualan ke pasar atau mencari air ke desa sebelah.
"Di sini air sulit, mbak. Coba mbak tanyakan pasti mereka tidak mandi pagi," jelas salah satu guru.
Mengajar merekapun harus penuh kesabaran dan perhatian khusus. Pasalnya, kegiatan belajar mengajar jam delapan pagi dan harus segera dihentikan pukul sepuluh, dengan alasan mereka takut di setrap (dihukum) oleh ustadznya karena telat mengaji sebelum dhuhur.
Kesadaran akan pendidikan formal di sini masih minim, lebih memprioritaskan pendidikan agama. Bahkan sekalinyapun biaya sekolah gratis sampai seragam, sepatu, tas dan alat tulis lainnya gratis. Tapi tetap saja banyak yang ke sekolah dengan keadaan muka yang cemong, seragam tak dikancing atau padanan seragam atas dan bawah tak cocok, tak bawa alat tulis, memakai sandal, dan bahkan membawa adik balitanya dengan alasan kedua orang tuanya bekerja dan tidak ada yang bisa menjaga adiknya. Ketika di kelas, pelajaran tak bisa diberikan optimal sesuai modul, pengajaran berlangsung sesuai dengan minat siswa inginnya belajar apa, bahkan banyak anak kelas 4 belum hafal perkalian 3. Inilah wajah pendidikan dipelosok Indonesia.
Ada pula cerita miris lainnya dari warga lansia. Mayoritas lansianya buta aksara. Mengajari lansia baca tulis tak segampang mengajari anak kecil, meski pelajaran sudah berlangsung lebih dari lima kali, ketika diulang, semua ingatan mereka seolah terhapus.
"B ketemu A dibaca?"
"BEA"
"Bukan BEA, bu. B ketemu A dibaca BA"
Meski harus bergelut dengan terik menuju masjid ba'da dhuhur (tempat berkumpul untuk mengajari lansia buta aksara), atau bahkan memakai senter untuk menyusuri pematang sawah di malam hari. Karena siangnya mengajari lansia wanita dan malam ba'da isya' mengajari lansia prianya.
Mengabdi Setulus Hati
Lain lagi cerita bagi kelompok KKN-BBM di desa Kareng Kidul, Kecamatan Wonomerto, Kabupaten Probolinggo. Dari keadaan masyarakatnya hampir semua petani dan usaha rumahan batu bata. Kegiatan kami di sini sangat padat, bahkan satu minggu pertama, terutama yang laki-laki, baru bisa istirahat jan 2 malam.
“Mungkin KKN kita sangat berbeda dengan kebanyakan kelompok lainnya. Kita benar-benar menghibahkan pikiran, tenaga, dan dana kita di desa ini,” ujar Ahmad Maulana, salah satu peserta KKN-BBM.
Kegiatan pagi hari ada tutorial di SD dan MI, tim displit jadi 2, setiap kamis ada penyuluhan bekerja sama dengan posyandu. Kami juga melakukan rehabilitasi perpustakaan di MI, katalogisasidi SD dan MTs. Setiap malam minggu ada nonton bareng bersama warga memakai layar lebar, tiap minggu senam bersama. Dan kamipun membuatkan satu pekarangan berisi tanaman obat keluarga, setiap malam tutor mengajari anak kecil di sekitar penginapan.
“Padahal nonton, senam dan tutor malam tidak diprogramkan. Kita juga rutin ikut pengajian warga, ada diba’an, istighosah, hataman, dll”
Dan yang paling akan diingat adalah ketika mengadakan lomba peringatan 17 Agustusan, dimana untuk desa ini selama 1 dekade belum pernah mengadakannya. Lomba-lombanya dibagi dua, untuk anak-anak ada lomba memasukkan paku ke dalam botol, balap kelereng dan pindah bendera, semua diaksanakan pada tanggal 18 Agustus sore dan hampir 70 anak yang ikut di tiap cabang lomba tersebut.
Untuk orang tua ada lomba tarik tambang. Menariknya, tarik tambangnya bukan seperti biasanya yang berdiri tapi duduk di lubang-lubang tanah sebagai tumpuannya, kadang memakai ilmu kanuragan. Menakjubkannya, lomba ini dapat menarik lebih dari 500 orang warga setiap harinya, padahal jumlah warga desa kareng kidul hanya 2200-an, berarti ¼ warganya ketika ada tarik tambang menuju lapangan untuk menonton.
“Hal ini membuat kita diapresiasi warga karena di desa lainnya tidak semeriah itu,” jelas Ahmad Maulana dengan sumringah.
Cerita Lain di Bojonegoro
Kami mendapat kesempatan mengabdi di Desa Sukorejo, Kecamatan Malo, Kabupaten Bojonegoro seluas 80 ha yang mata pencahariannya sebagian besar mencari kayu bakar di hutan, buruh tani dan perantauan keluar kota. Hanya ada satu sekolahan, SD dan TK digabung. Hanya ada 3 dusun, masing-masing 1 RW.
Proker kami diantaranya dialog bersama pengrajin sangkar, mendengar dan memberi solusi agar bisa lepas dari pengepul, dan pelatihan membuat pakan ternak.
“Permasalahan di desa ini susah lepas dari pengepul, sedangkan oleh pengepul dihargai rendah tidak sebanding dengan pembuatannya,” tukas Titom, salah seorang peserta KKN-BBM di Desa tersebut.
Yah, beginilah sepenggal kisah KKN-BBM 50 Universitas Airlangga. Setitik ketulusan hati untuk mengabdikan sejumput kepemilikan untuk masyarakat pinggiran. Turut merasakan keterbatasan dan kesederhanaan mereka. (lis)
Komentar
Posting Komentar