Judul buku :
Menegaskan Islam Indonesia: Belajar dari Tradisi Pesantren dan NU
Penulis : Wasid Masyur
Penerbit : Pustaka Idea
Tebal buku : xx + 200 hlm, 135 x 205 mm
Tahun Terbit : cetakan I, 2014
ISBN : 978-602-99387-6-0
Peresensi : Liseh*
Peresensi : Liseh*
Memikirkan
Indonesia sejatinya adalah berfikir bagaimana keragaman (Bhinneka Tunggal
Ika) yang dimiliki senantiasa tetap dalam kebersamaan,sehingga tidak mudah
tergerus oleh semangat egoistik yang berujung pada sikap menang sendiri (hal.
152). Hal tersebutlah yang coba Wasid Mansyur sampaikan, tentang bagaimana
wajah Islam seharusnya menyatukan bukan memecah bangsa dengan perdebatan sengit
hingga terjebak pada saling tuding kafir.
Islam adalah satu,
namun ekspresi keberislaman sulit dipersatukan. Sebab setiap akal memiliki
perbedaan yang dalam proses adaptasinya dengan teks agama dilingkupi realitas
budaya dan sosial yang beragam sekaligus berbeda. Atas dasar ideologis, Islam
sering diekspresikan dengan kekerasan alih-alih menciptakan kedamaian, Islam
ideologis ini kemudian cenderung mengembangkan fanatisme yang pada titik
tertentu membangun nalar tertutup yang menganggap dirinya paling benar dan yang
lain salah sehingga harus dipaksakan pada kebenarannya.
Kearifan agama
sebagaimana diusung oleh Nabi, dengan menimbang tradisi Arab, mampu memberikan
kontribusi penting terhadap perkembangan Islam selanjutnya. Karenanya,
kehadiran agama tidak berada dalam ruang kosong, melainkan ada proses
dialektika sosial-budaya. Keutuhan dalam memakai teks agama harus didialogkan
dengan keragaman dan dinamisasi tradisi baik sosial, politik maupun budaya.
Harmonisasi keduanya menjadi sebuah keniscayaan agar sebuah kearifan agama
tetap terjaga.
Di Indonesia,
dapat dilihat pula kearifan Islam bisa menyatu dengan budaya lokal. Sebut saja diantaranya budaya slametan dalam
acara kelahiran, pindah rumah, tahlilan, dan lain-lain. Dalam kondisi ini
nilai-nilai Islam itu masuk tanpa adanya kekerasan kultur. Upaya dialektika
dengan tradisi yang berkembang dalam memahami teks agama, ada kaitannya dengan term
yang dikenal dalam kaedah istilah fiqh “Al-adalah Muhakkamah”, tradisi
adalah bagian dari syariat agama. Inilah yang dari dulu Wali Songo coba
sampaikan melalui dakwah kulturalnya yang lantas diteruskan oleh komunitas
pesantren.
Moderatisme
Islam akan tetap menentukan momentumnya jika penguatan gerakan kultural yang
lahir dari kesadaran menciptakan etika publik agar berjalan menuju tatanan
kehidupan yang harmonis, sepi dari konflik dan guyup membangun negeri. Oleh
sebab itu, kita harus menyegarkan pemahaman ideologi kita agar tidak terkesan
normatif. Sebab tidak ada otoritas Tuhan yang diberikan kepada individu secara
leluasa bertindak keras apalagi mengambil nyawa orang lain (hal. 54-56).
Buku “Menegaskan
Islam Indonesia” merupakan kumpulan tulisan yang sebagian besar pernah
diterbitkan di media massa. Buku ini sangat menarik karena menyajikan sosok
Islam Indonesia sebagai sebuah pemahaman keagamaan yang apresiatif terhadap
kebudayaan lokal tanpa kehilangan otentisitas keislamannya, seperti yang coba
Islam kultural (komunitas pesantren dan NU) coba perjuangkan sejak 31 Januari
1926 silam.
Buku ini layak
mendapat tempat dalam ruang baca masyarakat Indonesia, tak hanya akademisi tapi
juga siapapun yang ingin memahami Islam di Indonesia dengan segala fenomenanya.
Selamat membaca!(Ls).
Komentar
Posting Komentar