AKU?


Kali ini kau bercermin lagi rupanya. Tak permah bosan melakukannya tiap kali turun dari ranjang tidurmu. Apa yang sedang kau lihat? Bagaimana kau melihat dirimu sendiri? Menyedihkan? Beberapa bercak hitam mungkin tak seberapa merusak mood mu, bayangan hitam di bawah matamu mungkin sudah tidak lagi mencuri perhatian besarmu.. Rambutmu mulai memanjang, tak begitu terurus meski masih berwarna hitam legam dan lebat. Rontok dimana-mana dan entah sudah berapa hari sudah tak kau sisir. Apa sebenarnya yang menggangu fikiranmu? Apa sebenarnya yang mengganggu kesehatan mentalmu?
Sejenak melihat sekeliling kamarmu. Menengok ke tempat galon yang kali ini masih belum juga diantar oleh mas ipung, mas yang bekerja di tempat pengisian air. Ya, aku tahu. Lidahmu sudah dua hari ini merasakan air kran yang rasanya sama sekali tak segar tapi masih saja terus kau berusaha menutupinya dengan memakan gula setelah meminum air itu.
Aku senang kau tak terlalu manja dan lebih banyak diam belakangan ini, menyumpal mulut yang sering mengeluh itu dengan maraton film atau anime. Dengan langkah tak begitu bersemangat kau mencuci beras, memasaknya lalu menyantapnya. Aku paham apa yang sedang kau lakukan. Kau hanya sedang melatih dirimu berpura-pura tegar. Padahal aku sendiri mengerti betapa tak enaknya semingguan ini hanya makan sehari sekali dengan nasi putih saja. Aku taku apa yang sedang kau pikir dan rasakan. Seharusnya kau dapat saja makan nasi putih sehari tiga kali dengan beras yang teman sekelasmu berikan. Tapi kenapa hanya makan sehari sekali? Karena lidahmu tidak bisa kau ajak kompromi bukan?

Mungkin orang Indonesia bisa dianggap tak dapat makan jika belum makan nasi, tapi bagaimaa mungkin tahan hanya dengan makan nasi putih saja kan? Ah, matamu mulai berkaca-kaca. Mau menangis lagi? Ya, aku paham apa yang kau keluhkan. Seharusnya setelah semua ini, lidahmu, matamu, bahkan seluruh badanmu kau harap memahami bukan? Berharap mereka mau kau ajak bersekongkol untuk menganggap baik-baik saja jika hanya makan nasi putih saja dan minum air kran Surabaya yang sama sekali tak menyegarkan.

Ah, kau menangis lagi. Menangisi nasibmu. Liseh yang malang. Liseh yang menyedihkan. Merasa ditinggalkan banyak kawan? Oh, ya kau jawab tidak. Kau sengaja meninggalkan mereka rupanya. Bagaimana bisa? Ah ya, aku paham. Kau masih terlalu kuat memegang harga dirimu ya? Padahal kau sendiri sudah tak mempercayai kemampuanmu sendiri. Liseh yang malang. Aku ingin melihat seberapa lama kau bisa bertahan menghadapi masa-masa seperti ini? Aku ingin tau bagaimana caranya kau nanti melewati masa-masa sulit ini. Apakah kau hanya akan mendiamkan pikiranmu saja? Ayolah bicara. Tidakkah kali ini hanya ada aku dan kamu? Tidak akan ada orang lain yang akan menertawakan atau meremehkanmu.

Ah, ya. Mungkin kau benar. Melelahkan juga ya menyerahkan segala harapan pada waktu, mengulurnya dan berharap nasib baik akan segera datang. Berharap kebaikan tapi menolak kebaikan orang-orang disekitarku. Apa pula maksudnya itu? Lalu kebaikan macam apa yang aku inginkan? Semua yang aku tau, menyenangkan memang menerima kebaikan banyak orang. Tapi tidakkah itu hanya akan membunuh sesuatu dalam diriku yang hendak berusaha tumbuh kuat? Ibarat kepompong. Kasihan memang jika si ulat harus terjebak atau bertapa menjadi kepompong sebelum menjadi ulat, rasanya kita ingin membelah kepompongnya agar ia dapat segera terbebas dan melihat sayap indahnya. Atau pula seperti anak ayam yang sedang berusaha keluar dari cangkangnya. Ingin membantunya, tapi segenap perasaan kasihan dan bantuan itu jutsru akan membuat si kupu-kupu dan anak ayam itu prematur. Akan menggantungkan segenap masalahnya pada bantuan. Aku tak ingin melihat sesuatu dalam diriku itu memprotesku terus dengan mengabaikannya. Ia ingin tumbuh kuat dan tegar dengan tidak selalu menerima bantuan. Kau tau bagaimana rasanya menjadi tak berguna dengan selalu menerima bantuan?

Boleh jadi saat ini mataku sering tak bisa menahan amarahnya untuk membanjiri wajahku. Tak apa. Boleh jadi saat ini perutku sering berdemonstrasi karena tak banyak asupan makanan yang aku makan, tak apa. Boleh jadi lidahku begitu merindukan berbagai banyak rasa yang bisa dicicipinya, tapi aku hanya memberikannya rasa yang kurang enak dari memakan nasi putih saja atau minum air kran, tak apa. Boleh jadi badanku mengeluh lemah dan bosan jika selama beberapa hari ini aku ajak mereka maraton film, hanya duduk tiduran melewatkan berpuluh-puluh jam dengan alasan save energi, mengulur waktu, pelarian atau apalah itu, tak apa. Tapi satu hal yang membuatku sering tak bisa cepat tidur, meski pada akhirya ketika dapat tidur aku tak dapat cepat terbangun. Aku mengasihani diriku sendiri sama halnya dengan aku menganiaya diriku sendiri.

Mungkin mereka semua yang berada di sekitarku adalah orang-orang baik. Selalu bersedia membantuku dengan ikhlas tanpa pamrih. Tapi tak taukah kau, justru itulah yang membuatku miris dengan diriku sendiri. Itulah sebabnya mengapa aku menghindari mereka, menjaga jarak. Karena aku tak mau terus menerus menggantungkan diri pada bantuan mereka.

Aku sudah lelah untuk mencari pinjaman uang. Bukan saja rasa malunya, tapi juga seolah tak tau diri. Bukankah aku terlihat lebih menyedihkan ketimbang pengemis? Boleh jadi pengemis itu tak punya uang untuk dibelikannya makanan esok harinya, ia tak  mencari kerja meskipun badannya masih mampu, ia lebih memilih meminta belas kasihan orang dengan mengemis. Tapi setidaknya itu lebih baik dari pada tak melakukan apa-apa bukan? Aku? Aku hanya membiarkan badanku terpenjara bersama ketidakberdayaan dan rasa putus asa ini. Aku tak punya uang, makanan yang tersisa hanyalah beras. Air galon sudah bersih, tinggal air kran saja. Bukankah jauh lebih menyedihkan aku dari pada pengemis itu? Lalu dengan sakitku? Ah, sebenarnya ia tak terlalu aku fikirkan meski entah berapa kali dalam sehari kusentuh benjolan itu. Jika ia hendak bergabung dengan diriku, selamat kau memilih inang yang salah wahai penyakit.

Tak apa. Masih ada kesempatan bagiku untuk menunggu hingga hari dimana beasiswa itu cair bukan? Ah, lagi-lagi aku menggantungkan keberlangsungan hidupku pada sesuatu. Mungkin kau akan mengejekku yang tak konsisten. Menolak kebaikan orang tapi berharap dengan harapan yang semakin menyayat dengan menunggu beasiswa? Atau kekecewaan terhadap keluargaku yang tak jua mengirimiku uang yang sebelumnya pernah aku titipkan pada ibu untuk disimpan sebagai jaga-jaga. Aku sendiripun sudah tak punya nyali berlagak menyedihkan lalu berharap kebaikan keluarga sendiri untuk membantuku. Aku tau keadaan mereka mungkin tak lebih baik dariku di sini.

Bukan karena aku hendak memutus silaturrahim dengan keluargaku sendiri, bukan aku hendak menjauh dari keluargaku sendiri, bukan aku tak menghargai kebaikan hati teman-temanku. Tapi entahlah. Aku bingung harus berkata bagaimana lagi.

Aku mengerti apa yang kau rasakan. Aku paham, terus merepotkan orang dengan menerima bantuan itu memang tak enak. Membuatmu merasa seperti tak berguna. Tapi melampiaskannya dengan menyiakan waktu yang kau  miliki itu juga bukan penyelesaian yang baik bukan? Apa sebenarnya yang kau tunggu? Terus mengulur waktu untuk menyelesaikan skripsimu, menangis sendiri tak mau berbagi apa yang kau rasa. Apa sebenarnya maumu? Hah, kau bilang kau bingung? Sikap macam apa itu, hah? Pengecut. Lari dari masalah, mengulur waktu dengan mengerjakan hal yang tak berguna. Itukah maumu?

Ah, sudahlah. Jangan terus membuatku semakin merasa bersalah. Aku tau apa yang sedang aku lakukan salah.

Lalu mengapa kau biarkan dirimu terus melakukannya? Ah, rupanya uang sudah membuatmu benar-benar ketergantungan ya. Apa kau fikir tak dapat melakukan apa-apa jika sedang tak punya uang? Kau mengakui kekalahanmu sendiri? kalah dari apa? Dari diri sendiri? Ah, lucu sekali. Lalu kau anggap aku ini apa? Aku adalah bagian dari dirimu yang selama ini selalu berusaha menyadarkanmu dari kesintinganmu. Hey, ayolah. Hentikan drama ini.

Kau benar. Aku terlalu pengecut. Apa yang harus aku lakukan?


Lakukan apa yang nuranimu ingin lakukan. Bukan mengurungnya hingga lupa bagaimana caranya untuk hidup (Ls). 

Komentar