Sejauh mana kebaikan hati
manusia itu? Apa yang menyebabkan ia melakukan kebaikan? Selalu ada pilihan
menentukan diri bagaimana hendak bersikap. Berbuat baik atau mengabaikan
kesempatan berbuat baikpun menjadi pilihan. Bahkan terpaksa, memaksa ataupun
dipaksa melakukan kebaikanpun adalah pilihan untuk melakukannya atau tidak.
Segala kemungkinan sekecil apaun, bahkan yang disangka mustahil masuk dalam list
pilihan pun sebenarnya adalah pilihan. Lalu mengapa manusia sering berkilah
dengan berkata “tidak punya pilihan lain?”.
Manusia memang makhluk yang
bebas, bebas menentukan sikap. Bebas melakukan dan memilih sesukanya. Bahkan
bisa saja memilih pilihan terberat diantara tawaran pilihan yang lebih mudah,
atau sebaliknya. Ada banyak hal yang begitu kompleks dibalik setiap tindakan
yang dilakukan oleh manusia. Dibalik keruetan pikirannyapun dapat ia memilih
untuk tidak bertindak apapun hanya duduk termenung dengan pergulatan
pikirannya. Ada pula yang sederhana dalam berpikir namun luar biasa dalam
bertindak. Ada yang sok filosofis dengan segala ucapan dan istilahnya yang
kadang membuat orang kesusahan mengartikan maksudnya, padahal harusnya filosofi
itu hendak menyederhanakan sesuatu yang rumit.
Berfikir dan bertindak yang
sederhana itu tidak mudah bagi sebagian orang karena mereka terjebak dalam
kerumitan berfikir hingga mempengaruhi cara bertindaknya. Akupun begitu, selalu
terjebak dalam kerumitan, sering jadinya malah melakukan penyangkalan terhadap
diri sendiri. Merendahkan diri sendiri dengan menanamkan pesimisme. Terhadap
kerumitan dan kesusahan yang sedang dialami, tak jarang aku mendramatisirnya.
Seolah deritanya melangit tiada dapat menginjakkan kaki di bumi, seolah paling
menderita. Padahal, setelah ditelusuri masalahnya simpel saja. Dapat sejentik
jari menyelesaikannya. Dibuat rumit dan mendramatisir hanya karena timbunan
prasangka yang belum tentu akan terjadi. Segala prasangka itu seringnya menutup
kemungkinan untuk menyederhanakan berfikir dan bertindak.
Tentang kebaikan.... terkadang
aku sering dibuat haru dalam tangis menerima banyak kebaikan dari orang-orang
disekitarku. Mengapa mereka begitu baik, yang bahkan pada pertemuan pertama.
Memang, takaran kebaikan itu tak absolut dalam parameter terukur. Setiap
manusia punya ukurannya sendiri untuk menakarnya. Banyak yang percaya bahwa
setiap manusia memiliki kadar kebaikannya masing-masing. Ada yang pula yang
percaya bahwa manusia tidak ada yang baik, segala ‘kebaikan’ yang ia lakukan
dibalik itu semua pasti ada tujuannya. Entah hanya untuk mengetahui seberapa
jauh ia dapat bertindak dan berbuat. Jika hati menjadi pertimbangan dalam setiap
putusan kebaikan yang diambil oleh manusia, emosi menjadi faktor penting dalam
setiap suasana kebatinannya, maka kebaikan manusia menjadi suatu hal yang logis
dan irasional sekaligus. Dapat dipertimbangkan sesuai kebutuhan kadang tanpa
mempertimbangkan kebutuhan dan alasan.
Setiap perbuatan memiliki
konsekuensi, apapun itu. Manusia cenderung menghindari keburukan terhadap
dirinya, mungkin itulah alasannya ia berbuat baik agar memperoleh kebaikan pula
atau sekedar menenangkan batin bahwa ia tak setega itu mengabaikan keburukan
atau permasalahan disekitarnya. Kadang kita merasa ada sesuatu yang mengganjal
dan mengganggu pikiran ketika ada sesuatu yang dapat dilakukan tapi kemudian
mengabaikannya, bukan? Karena disitulah nilai fitrah manusia, memiliki nurani
yang berfungsi sebagai pendeteksi atau pembeda mana baik dan buruk menurut
pribadi masing-masing.
Maka, semoga kita termasuk
manusia yang selalu berbuat baik hingga akhir hayat. Karena baik untuk orang
lain dapat menjadi baik pula bagi diri sendiri. Semoga kehendak berbuat baik
itupun setia menemani kehidupan manusia yang gampang dibolak balik hatinya.
(Ls)
Komentar
Posting Komentar