Sudah lama tak menulis, rasanya
agak kaku menyelaraskan tarian jemari dan pikiran tentang apa yang hendak
ditulis. Kali ini, aku hendak bercerita pengalamanku selama beberapa hari
kemarin, selama perjalanan pulang dari Kudus-Surabaya.
Tertanggal 27 agustus malam
kemarin, aku beserta lima orang lainnya dari regional timur bertolak dari
bungur menuju Kudus untuk menghadari raker dan pelantikan Tim Redaksi Majalah
SANTRI periode 2015-2016. Kami sengaja berangkat malam hari agar sesampainya di
Kudus pagi. Perjalana 6 jam yang penuh dengan tidur dalam bus. Kadang beberapa
kali tersadar membenarkan posisi tidur atau terkejut karena macet terjadi
kecelakaan, truk box guling menabrak truk ganding yang sedang parkir, entah apa
yang sedang terjadi pada sopir truk box malang itu.
Sarapan lezat sudah menyambut
kedatangan kami di kediaman Adib, Pimred SANTRI. Paginya kami istirahat untuk
selanjutnya ba’da shalat jum’at ke lokasi. Namun berdiam diri saja tak enak
rasanya, kaki ini gatal menjajal pemandangan sekitar. Kediaman Adib tepat di
bawah kaki Gunung Muria. Akhirnya, aku Itsbat dan Muluk bersepakat menjelajahi
jalanan itu hingga sampai di kompleks makam Sunan Muria. Pemandangan hutan yang
asri, menjadi begitu mendamaikan dan tiada henti mulut merapal kekaguman meski
disertai nafas memburu, mendaki dengan sendal dan rok itu lumayan rempong
juga ya. Haha.
Keesokan harinya ketika sore,
kami mendaki lagi ke kompleks makam namun dengan jalur yang berbeda. Kali ini
melewati jalan raya dengan panorama senja yang tak kalah asoy.
Sebenarnya tujuanku ingin ke komplek makam lagi karena ingin membeli oleh-oleh,
ya aku dapat 3 gantungan kunci unik yang terbuat dari biji-bijian membentuk
katak dan monyet, aku beli 2 katak dan 1 monyet seharga 10 ribu setelah proses
tawar-menawar dan dua kali berpindah lapak. Katanya sih kalau di situ harus
pintar-pintar menawar, bahkan kalau bisa menawarnya 2/3 dari harga yang
ditawarkan. Tak banyak yang aku beli, melihat kondisi dompet yang sedang
mengenaskan. Kalau saja sedang tidak kering, pastilah naluri wanita untuk
belanja akan menggila. Haha.
Tiga hari raker dan pelantikan
bertempat di Puri Colo. Kami menyewa dua rumah kecil semacam cottage
suasana klasik gitu, bangunannya terbuat dari kayu. Banyak hal yang kami
bicarakan untuk satu kepengurusan ke depan. Segala perubahan diniatkan untuk
membentuk progres perbaikan. Semoga apa yang diharapkan dan direncakan ketika
rapat kerja terwujud sebagaimana pengharapannya. Ivan, Ketua Umum CSSMoRA
Nasional pun turut hadir melantik kami, meski tak lengkap ber-27, setidaknya 16
orang yang hadir dari tim redaksi ini dianggap mewakili. Keterbatasan jarak dan
waktu memang menjadi kendala tersendiri. Tak apalah, kendala menjadi pemberi
kesan yang berarti ketika kami dapat berkumpul. Setiap pertemuan face-to-face
menajdi begitu bebarti, hingga saking berartinya hampir setiap momen hendak
diabadikan dengan kamera. Haha. Maklumlah, anak muda jaman sekarang sedang
gandrung hal yang demikian.
Selepas menunaikan kewajiban
melaksaakan raker dan pelantikan, penat menagih refreshing. Lalu kami
beranjak menuju Air Terjun Monthel yang lokasinya dekat dapat ditempuh dengan
jalan kaki. Namun, ekspektasi terlalu tinggi kadang sedikit menebar benih
kecewa. Pasalnya, sangat disayangkan air terjunnya kering. Mungkin air
terjunnya sedang ngambek, hanya mengalir krucuk-krucuk dari atas,
mungkin pula karena sedang musim kemarau kali ya. Padahal selama perjalanan itu
kami sampai dua kali membayar tiket masuk. Usut punya usut, ternyata tiket yang
pertama itu semacam karcis tol, karena kami melewati jalan yang tanahnya ada
pemiliknya dan jalanannya pun tak seterjal jika melewati jalan raya. Tiket
pertama cuma seharga Rp. 2.000 setelah mendapat potongan harga separoh karena
kami rombongan. Untuk tiket yang kedua, kami membayar Rp. 4.000 dari Rp. 7.000
harga awal.
Dari pada terpaku pada
kekecewaan karena air terjunnya ngambek tidak mau terjun, lebih baik
tetap menikmatinya. Sudah hal yang lumrah ketika jalan-jalan, agenda utamanya
adalah foto-foto. Maka begitu pulalah kami. Hampir dua jam kami bermain dan
menikmati keindahan alam sekitar. Air, udara, tanah (tanpa api. Haha),
pepohonan, bebatuan, dan manusia, memenuhi pemandangan sekitar. Pun pula warung
dan beberapa penjual yang sengaja menjajakannya dengan menggendong bakul berisi
makanan ringan yang terkadang agak sedikit memaksa pada pengunjung.
Dalam setiap perjalanan, menjadi
pilihan bagaimana hendak bersikap. Bolehlah menikmatinya hingga terkesan
kekanak-kanakan, bermain dan mengekspresikan diri. Benar-benar me-refresh
otak. Atau hanya memilih lebih banyak diam, menikmati pemandangan dengan duduk,
mencari posisi yang enak dan menjangkau
sekilas pemandangan yang dirasa menyejukkan.
Beberapa sampah berkeliaran
sedikit merusak pemandangan. Memang demikian adanya, sejak dulu sampah menjadi
bukti kegiatan yang dilakukan manusia. Bangsa ini mungkin mash kurang sadar
kebersihan. Tak perlu mengutuk atau mengkritik, aku saja kadang kalau sudah
kepepet, pernah membuang sampah sembarangan meski merasa bersalah. Tapi ya
begitulah, hanya bisa menyayangkannnya saja.
Usai membasahi diri, usai
foto-foto ria, usai menyumbang tawa riang, kami beranjak pulang. Bersiap kembali
ke habitat masing-masing. Perjalanan 6 jam lebih menuju Surabaya sudah membayang
di depan mata. (Ls)
Komentar
Posting Komentar