Kembali ke Organ Pergerakan Sejati

Nemu tulisan, ndak tau ini punya siapa dan memang tidak ada nama yang tercatum. tulisan ini menarik buat saya, dan semoga juga menarik bagi kalian semua :)


Kader pergerakan yang  mampu secara kreatif menerobos kebuntuan-kebuntuan pergerakan, memandu, dan membangun orientasi perjuangan, maka baginya pahala kebaikan kepeloporan tersebut, dan pahala dari kader pergerakan yang terinpsirasi dan memakai kepeloporan dan panduannya, sampai hari kiamat.

Awalan
Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia. Mendengar istilah ini imajinasi kita serta merta dibawa dalam panggung pergulatan sosial panjang nan berkelok dan berdarah-darah. Wajah sosiologis dan mediatiknya plural. Begitu juga tafsir sejarah atasnya. Baik yang datang dari outsider maupun insider. Tulisan komunitas lain tentang PMII, atau buku seputar peran kesejarahan terbitan PB PMII, atau buku "PMII di Persimpangan Jalan," hanya sebagian kecil contoh sesat piker tentang organ pergerakan kita. Pujian, kritik, distorsi, sinisme silih berganti menghampiri dan menyorotinya. Tiarap tanpa denyut nafas sosial, ledakan gerak transformasional, lontaran gagasan alternatif dan radikal, seringkali mewarnai kanvas kesejarahannya.

Tidak heran jika arsitektur sejarah Indonesia pun penuh dengan guratan jejak langkahnya, yang, subhanalloh, mematrikan gagasan dan perubahan yang terus berdialektika hingga kini. Meskipun pada saat lain, kita melihat, dari rahim organ ini lahir berbagai corak gerakan kontroversial seperti terobosan kawin kontrak di lokalisasi, yang menggelisahkan, dan memuakkan.
Apapun, jelas, sejarah sosial negeri ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan pergerakan ini. Seorang antropolog Jepang dengan berani mengatakan, membaca sejarah Indonesia sama artinya menyimak lembaran panjang perlawanan berabad-abad kaum santri, perlawanan terhadap kelaliman kolonialisme dan imperialisme. Yang dimaksud dengan kaum santri tiada lain adalah leluhur kita, yang tidak ternoda oleh pengkhianatan terhadap penjajah, yang dengan heroisme luar biasa berjuang demi tegaknya kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan karakter kebudayaan yang khas. Mereka, para leluhur kita, yang melahirkan kita, yang sekarang melanjutkan paralelisme peran sejarah lewat organ yang disebut dengan PMII.

Contoh sesat pikir di atas, jika dilihat dari perspektif kesejaraharan. Setiap kaderisasi, hampir semua buku tentang sejarah PMII yang ditulis sendiri pun, memaknai kelahirannya tahun 1964. Pemahaman ini  ahistoris dan mitologis. Dampak dari pemahaman ini sebagian kader PMII tidak memiliki kebanggaan sejarah, gagal menjadikan sejarah sebagai pijakan idoelogis dan orientasi perjuangan. Sebab hanya memahami PMII sebagai sintesa pertarungan internal di tubuh organ lain. Simplistic dan distortif. PMII sesungguhnya telah lahir bahkan sebelum kata Indonesia ditemukan. PMII harus dimaknai lahir  akhir abad 14. Tepatnya  ketika putra Raden Fattah, Adipati Unus, me-launching perlawanan pertama terhadap kolonialisme Portugis tahun 1512. Pergerakan dan perlawanan berikutnya selalu lahir dari masyarakat yang merupakan leluhur kita. Pemahaman tahun 1964 harus dimaknai sebagai proses pelembagaann nilai dasar perjuangan yang sudah mendarah daging dalam konteks organisasi modern.

Perjalanan sejarahnya melintasi ruang dan waktu. Berproses secara dialektik dalam sekian rezim dan formasi sosial yang terus berganti. Dinamika internal, arus perubahan sosial eksternal, konteks sosial dan kulturalnya yang indigenous, berpadu, dan berdialektika, memahat wajahnya. Dalam dialektika nan panjang tersebut, kita menyaksikan munculnya generasi-generasi yang kreatif, kritis, transformatif, yang mampu mendobrak kebekuan pergerakan dan menjawab tantangan obyektif kondisi eksternal. Generasi ini ada yang "min quraisyin," ada berasal dari anak petani dan buruh, ada juga yang berasal dari masyarakat biasa-biasa saja. Kadang individual, kadang kolektif.  Kadang ada yang bergerak dalam struktur kelembagaan, sekali waktu datang dari komunitas kulturalnya. Ada yang berasal dari mereka yang sudah  memahami anatomi struktural medan penuh pencak siasat (Jakarta), namun tidak kurang banyaknya yang berasal dari daerah pelosok yang mampu menertawakan Jakarta sebagai pusat siasat tersebut.

Demikianlah. Zaman berputar, menguji, dan merekam dinamika tersebut. Ada yang menguap begitu saja dari sejarah, ada yang terus berdialektika, bahkan tidak jarang yang dampak sosialnya melampaui batas-batas kelembagaan dan basis massa tradisional PMII. Darah dan air mata, onak dan duri, cerita tentang indahnya kolektifitas dan solidaritas, heroisme dan ketulusan serta keikhlasan, berpadu menjadi satu meramu tampilan sejarahnya. Harus diakui juga, oportunisme, intrik mengintrik, childish leftism, bahkan pengkhiatan, juga ikut mewarnainya.

Dengan bismillah, ala hadzihin niyyah, wakulli niyyathin sholihah, dengan segala pengakuan atas keterbatasan dan sumbangsih semua sahabat yang amat signifikan, risalah ini ditulis untuk tujuan membangunkan PMII dari "tidur dogmatisnya" yang panjang. Risalah ini merupakan ikhtiar sederhana meracik paradigma perjuangan sosial PMII ke depan, agar lebih sistematik, programatik, dan transformasional. Sejarah panjang perjuangan di atas harus direbut, dimaknai ulang, dan dijadikan pijakan dalam mengayuh perahu PMII di era globalisasi. Belum terlambat mengembalikan kembali PMII ke orbitnya, ke garis perjuangannya, khitthah-nya, sebagai kekuatan sejarah yang berpijak pada prinsip dan nilai dasar tertentu serta setia pada proses.

Risalah ini lahir oleh dorongan eksternal dan internal. Secara internal, risalah ini mencoba memotret berbagai kegelisahan pergerakan yang merata di kesadaran kader, tentang berbagai kebuntuan gerakan PMII, dan meresponnya secara kreatif, programatik, sistematik, dan profesional. Sebagai organ gerakan dengan basis dan jaringan terbesar di Indonesia, bahkan di jagad raya, daya dorong dan performance-nya nampak masih jauh di bawah kapasitas kelembagaan semestinyanya. Bahkan, yang memprihatinkan, nampak muncul semacam "keretakan espitemologis" (disorientasi gerak) dalam menghadapi perubahan yang cepat dan kompleks. Berbagai momentum internasional, nasional, dan lokal, yang bukan hanya gagal direbut, namun bahkan gagal dipahami, menunjukkan "kebangkrutan" historis aras gerak PMII.
Secara ekstrenal, pergeseran sosial di level global dan nasional secara niscaya membutuhkan jawaban baru. Membutuhkan perspektif baru yang responsif, dan formasi kelembagaan baru yang fleksibel dan mobile. Tanpa reparadigmatisasi ini PMII terancam menjadi zombie, mayat hidup, yang justru menakutkan murid taman kanak-kanak. Gejala kea rah itu sudah sangat terlihat. Energi gerak PMII lebih banyak terkuras untuk mengurus hal-hal  administratif, pertarungan internal yang tidak jelas epistemologinya, sehingga melalaikan tanggung jawab sejarah yang sesungguhnya. Beraktifisme di PMII bukan berbasis imajinasi kolektif bahu membahu mendorong  perubahan, namun justru bayangan untuk masuk ke partai politik, birokrasi, maupun basis financial. Bergerak berdarah-darah sudah lama menghilang dari kesadaran kolektif warga pergerakan. Banyak kader menjadi pengasong, pengecer  sio may, yang menawarkan bargain dirinya, untuk dirinya, bukan menghimpun potensi kekuatan pergerakan, menyatukan, mengkonsolidir, dan mengarahkannya. Hubungan organisatoris secara hierarkhis, antar-lembaga di PMII pun berjalan tanpa komunikasi, tanpa koordinasi, tanpa kesatuan gerak (ittihadul-harakah). Persekawanan cultural pun bahkan lumpuh oleh sesuatu yang tidak jelas epistemologinya.

Demikianlah, risalah ini mencoba menjadi salah satu bagian yang merefleksikan kegelisahan, ikhtiar, sekaligus impian-impian kita tentang masa depan PMII. Berpijak di bumi, berdikari, risalah ini mencoba menguak angkasa dan sang kala, mengibarkan bendera PMII, dan menariknya untuk kembali pada garis perjuangan yang sebenarnya. Mitologi yang berkembang bahwa ketulusan, keikhlasan, keujujuran, kolektifitas, berbaur dan berproses bersama masyarakat, adalah nilai-nilai kuno yang tidak applicable di belantara kekuasaan, harus dihancurkan. Kurang apa kerasnya kekuasaan politik dan uang zaman rasul saw, junjungan kita, dengan hati dan keteguhan prinsip, peradaban agung pun berdiri tegak di muka bumi. Sayyidina Husain rela membangun oposisi kritis hingga meregang nyawa terpenggal daripada tunduk menjilat pada kekuasaan korup. Satu per satu, kini, mereka telah pergi, meninggalkan kita. Namun semangat, roh, zeitgeist, teladan perjuangan mereka masih terngiang di depan mata. Siapa lagi penerus perjuangan mereka, jika bukan kita? Adipati Unus telah memulainya.

Untuk sampai ke sana, risalah ini akan melayari berbagai simpul-simpul sejarah penting. Simpul pertama adalah apa yang disebut dengan era globalisasi. Formasi globalisasi neoliberal akan menghadirkan tantangan-tantangan pergerakan yang sesungguhnya. Banyak orang bicara tentang globalisasi, mulai dari penjual warteg, akademisi, aktifis sosial, hingga  guru ngaji. Optik yang dipakai melahirkan konsekuensi logis tentang pemahaman globalisasi yang beraneka. Artinya, globalisasi bukanlah berwajah tunggal. Multidimensional. Memahami semua aspek dan pendapat  para ahli menjadi penting, agar tidak terjebak kacamata kuda. Yang dibaca adalah ide, kekuatan-kekuatan sosial, politik, gagasan, dan ekonomi, yang menjadi motor penggerak globalisasi, mekanisme kelembagaan, modus operasional, dan dampak-dampaknya baik dalam level politik, ekonomi, sosial, pendidikan, maupun keagamaan.

Simpul di atas disintesakan dengan realitas kesejarahan internal PMII. Realitas ini merupakan sintesa padu antara sejarah sebagai realitas obyektif dalam dirinya, dan subyekifitas kesadaran yang menjadikannya sebagai medan makna pergerakan. Upaya ini dilakukan untuk membangun kembali basis sejarah perjuangan yang mulai hilang, yang berimplikasi pada pijakan ideologis yang kabur, sekaligus melakukan kritik sejarah.
Setelah menelusuri dua simpul di atas yang menghadirkan arisitektur problem sosial kontemporer dan trend ke depan serta pemahaman terhadap sejarah panjang bangsa ini, sembari menelisik lebih lanjut karakter gerakan yang khas PMII agar  warga pergerakan "arofa nafsahu…," kini mulai terlihat cahaya di ujung garis depan paradigma gerakan PMII yang pas dan cocok, yang mampu menjawab problematic internal dan berbagai tantangan social eksternal.  Pergerakan tanpa basis pemahaman yang memadahi tentang sejarah, tentang tantangan-tantangan sosial, hanya akan melahirkan gerakan tanpa karakter, reaksioner, tanpa arah, dan akhirnya malah menjadi bagian dari mata rantai persoalan masyarakat.

Setelah menjumpai sejarah, menghampiri tantangan global, nasional dan lokal, merumuskan paradigma gerakan, yang tidak kalah pentingnya adalah bicara soal instrumen, yakni organisasi. Paradigma sekuat apapun tanpa dukungan supporting system akan kandas di tengah jalan. Struktur organisasi, sistem kaderisasi, kepemimpinan, manajemen, fund-rising, jaringan, merupakan bagian dari supporting system yang harus dimiliki oleh PMII. Tantangan di sini hanya satu, bagaimana memadukan kekuatan organisasi yang pengelolaannya berbasis kultural yang selama ini ada di PMII, dengan pola berorganisasi berpola manajemen sistemik, yang rapi, terukur, dan terarah. Bagaimana mentransformasikan modal sosial dan kultural tradisi dalam konteks kelembagaan organisasi sistemik menjadi amat penting.

Komentar