Nemu tulisan, ndak tau ini punya siapa dan memang tidak ada nama yang tercatum. tulisan ini menarik buat saya, dan semoga juga menarik bagi kalian semua :)
Awalan
Setelah menjumpai sejarah, menghampiri tantangan
global, nasional dan lokal, merumuskan paradigma gerakan, yang tidak kalah
pentingnya adalah bicara soal instrumen, yakni organisasi. Paradigma sekuat
apapun tanpa dukungan supporting system akan kandas di tengah jalan. Struktur
organisasi, sistem kaderisasi, kepemimpinan, manajemen, fund-rising,
jaringan, merupakan bagian dari supporting system yang harus dimiliki
oleh PMII. Tantangan di sini hanya satu, bagaimana memadukan kekuatan
organisasi yang pengelolaannya berbasis kultural yang selama ini ada di PMII,
dengan pola berorganisasi berpola manajemen sistemik, yang rapi, terukur, dan terarah.
Bagaimana mentransformasikan modal sosial dan kultural tradisi dalam konteks
kelembagaan organisasi sistemik menjadi amat penting.
Kader
pergerakan yang mampu secara kreatif
menerobos kebuntuan-kebuntuan pergerakan, memandu, dan membangun orientasi
perjuangan, maka baginya pahala kebaikan kepeloporan tersebut, dan pahala dari kader
pergerakan yang terinpsirasi dan memakai kepeloporan dan panduannya, sampai
hari kiamat.
Awalan
Pergerakan
mahasiswa Islam Indonesia. Mendengar istilah ini imajinasi kita serta merta
dibawa dalam panggung pergulatan sosial panjang nan berkelok dan
berdarah-darah. Wajah sosiologis dan mediatiknya plural. Begitu juga tafsir
sejarah atasnya. Baik yang datang dari outsider maupun insider. Tulisan
komunitas lain tentang PMII, atau buku seputar peran kesejarahan terbitan PB
PMII, atau buku "PMII di Persimpangan Jalan," hanya sebagian kecil
contoh sesat piker tentang organ pergerakan kita. Pujian, kritik, distorsi,
sinisme silih berganti menghampiri dan menyorotinya. Tiarap tanpa denyut nafas sosial,
ledakan gerak transformasional, lontaran gagasan alternatif dan radikal,
seringkali mewarnai kanvas kesejarahannya.
Tidak
heran jika arsitektur sejarah Indonesia pun penuh dengan guratan jejak
langkahnya, yang, subhanalloh, mematrikan gagasan dan perubahan yang
terus berdialektika hingga kini. Meskipun pada saat lain, kita melihat, dari
rahim organ ini lahir berbagai corak gerakan kontroversial seperti terobosan
kawin kontrak di lokalisasi, yang menggelisahkan, dan memuakkan.
Apapun,
jelas, sejarah sosial negeri ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
pergerakan ini. Seorang antropolog Jepang dengan berani mengatakan, membaca
sejarah Indonesia sama artinya menyimak lembaran panjang perlawanan
berabad-abad kaum santri, perlawanan terhadap kelaliman kolonialisme dan
imperialisme. Yang dimaksud dengan kaum santri tiada lain adalah leluhur kita,
yang tidak ternoda oleh pengkhianatan terhadap penjajah, yang dengan heroisme
luar biasa berjuang demi tegaknya kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan
karakter kebudayaan yang khas. Mereka, para leluhur kita, yang melahirkan kita,
yang sekarang melanjutkan paralelisme peran sejarah lewat organ yang disebut dengan
PMII.
Contoh
sesat pikir di atas, jika dilihat dari perspektif kesejaraharan. Setiap
kaderisasi, hampir semua buku tentang sejarah PMII yang ditulis sendiri pun,
memaknai kelahirannya tahun 1964. Pemahaman ini
ahistoris dan mitologis. Dampak dari pemahaman ini sebagian kader PMII
tidak memiliki kebanggaan sejarah, gagal menjadikan sejarah sebagai pijakan
idoelogis dan orientasi perjuangan. Sebab hanya memahami PMII sebagai sintesa
pertarungan internal di tubuh organ lain. Simplistic dan distortif. PMII
sesungguhnya telah lahir bahkan sebelum kata Indonesia ditemukan. PMII
harus dimaknai lahir akhir abad 14.
Tepatnya ketika putra Raden Fattah,
Adipati Unus, me-launching perlawanan pertama terhadap kolonialisme
Portugis tahun 1512. Pergerakan dan perlawanan berikutnya selalu lahir dari
masyarakat yang merupakan leluhur kita. Pemahaman tahun 1964 harus dimaknai
sebagai proses pelembagaann nilai dasar perjuangan yang sudah mendarah daging
dalam konteks organisasi modern.
Perjalanan
sejarahnya melintasi ruang dan waktu. Berproses secara dialektik dalam sekian
rezim dan formasi sosial yang terus berganti. Dinamika internal, arus perubahan
sosial eksternal, konteks sosial dan kulturalnya yang indigenous,
berpadu, dan berdialektika, memahat wajahnya. Dalam dialektika nan panjang
tersebut, kita menyaksikan munculnya generasi-generasi yang kreatif, kritis, transformatif,
yang mampu mendobrak kebekuan pergerakan dan menjawab tantangan obyektif
kondisi eksternal. Generasi ini ada yang "min quraisyin," ada berasal
dari anak petani dan buruh, ada juga yang berasal dari masyarakat biasa-biasa
saja. Kadang individual, kadang kolektif.
Kadang ada yang bergerak dalam struktur kelembagaan, sekali waktu datang
dari komunitas kulturalnya. Ada yang berasal dari mereka yang sudah memahami anatomi struktural medan penuh
pencak siasat (Jakarta), namun tidak kurang banyaknya yang berasal dari daerah
pelosok yang mampu menertawakan Jakarta sebagai pusat siasat tersebut.
Demikianlah.
Zaman berputar, menguji, dan merekam dinamika tersebut. Ada yang menguap begitu
saja dari sejarah, ada yang terus berdialektika, bahkan tidak jarang yang
dampak sosialnya melampaui batas-batas kelembagaan dan basis massa tradisional
PMII. Darah dan air mata, onak dan duri, cerita tentang indahnya kolektifitas
dan solidaritas, heroisme dan ketulusan serta keikhlasan, berpadu menjadi satu
meramu tampilan sejarahnya. Harus diakui juga, oportunisme, intrik mengintrik, childish
leftism, bahkan pengkhiatan, juga ikut mewarnainya.
Dengan
bismillah, ala hadzihin niyyah, wakulli niyyathin sholihah,
dengan segala pengakuan atas keterbatasan dan sumbangsih semua sahabat yang
amat signifikan, risalah ini ditulis untuk tujuan membangunkan PMII dari
"tidur dogmatisnya" yang panjang. Risalah ini merupakan ikhtiar
sederhana meracik paradigma perjuangan sosial PMII ke depan, agar lebih
sistematik, programatik, dan transformasional. Sejarah panjang perjuangan di
atas harus direbut, dimaknai ulang, dan dijadikan pijakan dalam mengayuh perahu
PMII di era globalisasi. Belum terlambat mengembalikan kembali PMII ke
orbitnya, ke garis perjuangannya, khitthah-nya, sebagai kekuatan sejarah
yang berpijak pada prinsip dan nilai dasar tertentu serta setia pada proses.
Risalah
ini lahir oleh dorongan eksternal dan internal. Secara internal, risalah ini
mencoba memotret berbagai kegelisahan pergerakan yang merata di kesadaran
kader, tentang berbagai kebuntuan gerakan PMII, dan meresponnya secara kreatif,
programatik, sistematik, dan profesional. Sebagai organ gerakan dengan basis
dan jaringan terbesar di Indonesia, bahkan di jagad raya, daya dorong dan performance-nya
nampak masih jauh di bawah kapasitas kelembagaan semestinyanya. Bahkan, yang
memprihatinkan, nampak muncul semacam "keretakan espitemologis"
(disorientasi gerak) dalam menghadapi perubahan yang cepat dan kompleks. Berbagai
momentum internasional, nasional, dan lokal, yang bukan hanya gagal direbut,
namun bahkan gagal dipahami, menunjukkan "kebangkrutan" historis aras
gerak PMII.
Secara
ekstrenal, pergeseran sosial di level global dan nasional secara niscaya
membutuhkan jawaban baru. Membutuhkan perspektif baru yang responsif, dan
formasi kelembagaan baru yang fleksibel dan mobile. Tanpa
reparadigmatisasi ini PMII terancam menjadi zombie, mayat hidup, yang justru
menakutkan murid taman kanak-kanak. Gejala kea rah itu sudah sangat terlihat.
Energi gerak PMII lebih banyak terkuras untuk mengurus hal-hal administratif, pertarungan internal yang
tidak jelas epistemologinya, sehingga melalaikan tanggung jawab sejarah yang sesungguhnya.
Beraktifisme di PMII bukan berbasis imajinasi kolektif bahu membahu
mendorong perubahan, namun justru
bayangan untuk masuk ke partai politik, birokrasi, maupun basis financial.
Bergerak berdarah-darah sudah lama menghilang dari kesadaran kolektif warga
pergerakan. Banyak kader menjadi pengasong, pengecer sio may, yang menawarkan bargain dirinya,
untuk dirinya, bukan menghimpun potensi kekuatan pergerakan, menyatukan,
mengkonsolidir, dan mengarahkannya. Hubungan organisatoris secara hierarkhis,
antar-lembaga di PMII pun berjalan tanpa komunikasi, tanpa koordinasi, tanpa
kesatuan gerak (ittihadul-harakah). Persekawanan cultural pun bahkan lumpuh
oleh sesuatu yang tidak jelas epistemologinya.
Demikianlah,
risalah ini mencoba menjadi salah satu bagian yang merefleksikan kegelisahan,
ikhtiar, sekaligus impian-impian kita tentang masa depan PMII. Berpijak di
bumi, berdikari, risalah ini mencoba menguak angkasa dan sang kala, mengibarkan
bendera PMII, dan menariknya untuk kembali pada garis perjuangan yang
sebenarnya. Mitologi yang berkembang bahwa ketulusan, keikhlasan, keujujuran,
kolektifitas, berbaur dan berproses bersama masyarakat, adalah nilai-nilai kuno
yang tidak applicable di belantara kekuasaan, harus dihancurkan. Kurang
apa kerasnya kekuasaan politik dan uang zaman rasul saw, junjungan kita, dengan
hati dan keteguhan prinsip, peradaban agung pun berdiri tegak di muka bumi.
Sayyidina Husain rela membangun oposisi kritis hingga meregang nyawa terpenggal
daripada tunduk menjilat pada kekuasaan korup. Satu per satu, kini, mereka
telah pergi, meninggalkan kita. Namun semangat, roh, zeitgeist, teladan
perjuangan mereka masih terngiang di depan mata. Siapa lagi penerus perjuangan
mereka, jika bukan kita? Adipati Unus telah memulainya.
Untuk
sampai ke sana, risalah ini akan melayari berbagai simpul-simpul sejarah penting.
Simpul pertama adalah apa yang disebut dengan era globalisasi. Formasi
globalisasi neoliberal akan menghadirkan tantangan-tantangan pergerakan yang
sesungguhnya. Banyak orang bicara tentang globalisasi, mulai dari penjual
warteg, akademisi, aktifis sosial, hingga guru ngaji. Optik yang dipakai
melahirkan konsekuensi logis tentang pemahaman globalisasi yang beraneka.
Artinya, globalisasi bukanlah berwajah tunggal. Multidimensional. Memahami
semua aspek dan pendapat para ahli
menjadi penting, agar tidak terjebak kacamata kuda. Yang dibaca adalah ide, kekuatan-kekuatan
sosial, politik, gagasan, dan ekonomi, yang menjadi motor penggerak
globalisasi, mekanisme kelembagaan, modus operasional, dan dampak-dampaknya
baik dalam level politik, ekonomi, sosial, pendidikan, maupun keagamaan.
Simpul
di atas disintesakan dengan realitas kesejarahan internal PMII. Realitas ini
merupakan sintesa padu antara sejarah sebagai realitas obyektif dalam dirinya,
dan subyekifitas kesadaran yang menjadikannya sebagai medan makna pergerakan.
Upaya ini dilakukan untuk membangun kembali basis sejarah perjuangan yang mulai
hilang, yang berimplikasi pada pijakan ideologis yang kabur, sekaligus
melakukan kritik sejarah.
Setelah
menelusuri dua simpul di atas yang menghadirkan arisitektur problem sosial
kontemporer dan trend ke depan serta pemahaman terhadap sejarah panjang
bangsa ini, sembari menelisik lebih lanjut karakter gerakan yang khas PMII agar
warga pergerakan "arofa
nafsahu…," kini mulai terlihat cahaya di ujung garis depan paradigma
gerakan PMII yang pas dan cocok, yang mampu menjawab problematic internal dan
berbagai tantangan social eksternal. Pergerakan
tanpa basis pemahaman yang memadahi tentang sejarah, tentang
tantangan-tantangan sosial, hanya akan melahirkan gerakan tanpa karakter,
reaksioner, tanpa arah, dan akhirnya malah
menjadi bagian dari mata rantai persoalan masyarakat.
Komentar
Posting Komentar