Serasa cepat
sekali waktu berlalu. Terlalu banyak kesiaan yang dilakukan. Betapa ruginya, ya
betapa ruginya. Banyak pekerjaan yang harusnya dapat diselesaikan atau paling
tidak dicicil sedikit demi sedikit. Kapasitas gerak dan berfikirku serasa
semakin mengkerut dengan berbagai lingkupan kemalasan dan kesiaan ini.
Entahlah. Semuanya mendadak membatu kemudian secara bersamaan menyerangku,
menghujat akan ketidakbermanfaatanku.
Semangat,
kemana perginya kau. Kupanggili hingga linglung malah kau semakin nyaman saja
dalam persembunyianmu. Inspirasi, kemana pula kau berlari? Aku tak lagi dapat
melihat jejak langkahmu. Aku linglung. Aku sinting dengan kesendirian ini.
Kalian pergi meninggalkanku dengan tega agar aku paham betapa berartinya
kaliankah?
Mungkin benar,
sudah saatnya aku mengakhiri satu titik dari untaian garis keangkuhanku. Bahwasanya
nyatanya aku memang membutuhkan seorang partner yang rela mendengarkan
segala bentuk racauanku. Seorang partner yang bersedia menjadi tempat sampah
atas segala bentuk eksresi sampahku, sampah otak, sampah hati, sampah
pengalaman gagal dan salahku. Ya, aku memang butuh. Tapi tak semudah butuh lalu
cepat mendapatkan.
Aku lelah
meladeni diriku sendiri. Sungguh aku lelah. Entah kemana segala semangat, kerja
keras, ambisi dan pemikiran kritis dulu itu. Aku mendadak menjadi manusia bodoh yang
tumpul respon. Menjadi manusia yang rela begitu saja diabaikan dan
berdisfungsi, lalu kemudian kering dimakan zaman dan perlahan akan dilupakan
orang. Ya, memang siapa aku yang begitu sombongnya berharap untuk diingat oleh
mansuia lainnya.
Memang dulu
aku pernah bilang tentang rahasia sebuah semangat. Ya, semangat yang tak perlu
dicari, cukup kita memberikannya pada orang lain meski kita tak punya. Karena
memang begitulah semangat, kita bisa memberikannya sekalipun kita tak punya dan
ajaibnya ketika kita tak punya, memberi, lalu kita akan tertantang dengan
semangat itu untuk turut memilikinya.
Rapuh.
Sekiranya otak dan hatiku rapuh. Miskin nutrisi. Mungkin pula karena aku sudah
terlalu lama meninggalkan aktivitas membaca, menulis tulisan berkualitas dan
kegiatan religius yang kian hari kian miris saja ditinggalkan. Katanya sih,
hanya aku sendiri yang dapat menolong diriku sendiri, iya memang. Tapi sejauh
aku mengenal diriku sendiri, aku adalah orang yang dapat dengan cepat
bersemangat jika bersama dengan orang lain. Jika ada orang lain yang dengan
tulus menuntun dan membimbingku. Aku gagal memimpin diriku sendiri.
Sudah
semester 7, dan aku tak kunjung pula bisa menaklukkan kebencianku terhadap
penyesalanku. Mengapa bisa aku sebegitu polosnya mengira akan bisa bertahan
bergelut dengan dunia sains/eksakta layaknya ketika MA dahulu. Nyatanya aku terlalu
sering lari dan mencari pelarian. Dan nyataya semua pelarian itu tak jarang
hanya akan menjadikan keadaan semakin buruk, satu sisi kemudian aku pura-pura
lupa akan kewajiban sainsku atau menggunakan kegiatan sosialku sebagai alasan
yang menjijkkan untuk bersembunyi dari intaian si sains/eksakta dan segala macam bentuk
belenggunya. Dan kemudian aku benar-benar terbelenggu dan tenggelam tanpa bisa
mengatur nafas.
Ya, benar.
Aku terlalu mendramatisir keadaan. Nyatanya memang tak separah itu. Hanya
otakku saja yang terlalu lebay mengkonstruksi dramatisasi keadaan ini. Tapi inilah aku.
Seberapa bencinya aku pada diriku sendiri. Seberapa menyebalkannya aku. Tapi
inilah aku. Inilah aku yang masih sok mentoleransinya sebagai nilai
kemanusiawianku. Manusiawi karena ternyata aku masih terlalu gampang terbawa
suasana dan pengaruh. (Ls)
Komentar
Posting Komentar