SUARA-SUARA DIBALIK BBM


“Manakala suatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya sendiri dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa tersebut telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, semua siap sedia mati mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap sedia, masak untuk merdeka” –Ir. Soekarno-
Setiap hal yang dilakukan manusia selalu bermaksud, bertujuan dan berkepentingan. Setiap maksud selalu dihubungkan dengan kepentingan dan diproses dengan kapasitas dan usahanya masing-masing. Naluri manusia memang selalu diliputi ketidakpuasan. Lalu mengapa harus terheran-heran ketika ada mausia lain mencibir usaha orang lain? Karena memang begitulah manusia, begitu mudah mencibir, menghina, mengkritik, membantah atau bahkan menggugat. Itu sudah biasa, itu sudah tidak asing lagi. Lalu mengapa pula setiap pembelotan dan penolakan itu seringnya menjadi hal yang disalahkan atau negatif? Bukannya pada dasarnya manusia adalah sang penggungat? Tak semua hal yang dianggap sempurna lalu selamat dari yang namanya gugatan dan kritikan. Ah, lagi-lagi hanya ocehan sampah. Abaikan saja. hehe.
Sekarang masuk ke topik sebenarnya yang ingin aku ceritakan pada siapaun yang mau membaca entah sengaja atau tidak, entah dianggap menarik atau sekedar ocehan sampah. BBM. Ya, topik ini sedang menjadi pusat perhatian sejak 17 Nopember lalu yang dengan gagahnya menaikkan harganya. Banyak yang pro, namun tak lebih sedikit juga yang kontra, apalagi bagi yang namanya aktivis. Banyak aktivis turun jalan menyuarakan penolakan mereka. Banyak hal yang menjadikan gerakan jalanan beberapa minggu ini seolah menjadi aksi yang heroik dan gagah dengan titel “membela kaum tertindas” atau “menyuarakan hak rakyat” karena dianggap sebagai “pengkhianatan besar terhadap rakyat”.
Dibalik analisis kaum kontra kenaikan BBM diantaranya adalah: kenaikan BBM akan menggerek inflasi yang akan menyebabkan menurunyya daya konsumsi masyarakat, terutama masyarakat miskin; dalih pengalihan subsidi dirasa tidak tepat karena bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3, yang meskipun alasan pemerintah subsidi akan dialihkan ke sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, lalu kemudian mengapa harus menunggu memotong subsidi BBM untuk memperbaiki sektor-sektor tersebut? Mengapa tidak mengoptimalkan pendapatan yang lainnya? Semisal pajak dan pendapatan non-pajak. Intinya, kebijakan menaikkan harga BBM ini adalah kebijakan yang tidak tepat dan malah mengkhianati rakyat. Tak heranlah jika banyak aktivis dengan gemparnya menyuarakan penolakan tersebut. Suara-suara parlemen jalanan yang dengan gagah beraninya tanpa lelah mengawal kritis kebijakan pemerintah. Salut, dari pada mahasiswa atau manusia-manusia apatis yang diam saja seolah acuh. Suara-suara mahasiswa pergerakan.
Ibarat koin, di sisi lain masih ada pula pihak yang pro. Mereka masih memiliki harapan besar terhadap kebijakan ini. Mungkin kebijakan kenaikan BBM akan membuat harga melambung dan daya jangkau konsumsi masyarakat akan berkurang. Tapi yang namanya kesejahteraan memang harus dibayar mahal terlebih dahulu. Kenaikan BBM akan memberikan ruang fiskal. Jika sebelumnya subsidi BBM banyak masyarakat menengah ke atas juga ikut menikmati, terlebih seperti industri atau pabrik yang membutuhkan BBM dengan kuantitas yang besar, maka dengan dinaikannya harga BBM dan mengalihkan subsidinya ke sektor lain, diharapkan para mafia minyak dapat diberantas. Pengalihan subsidi ini dikatan akan lebih pro-rakyat dan diupayakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik dalam hal pendidikan, kesehatan dan bantuan-bantuan tunai yang diahrapkan dapat mengurangi dampak negatif dari menurunya kemampuan konsumsi masyarakat miskin. Banyak pihak yang masih berfikir dan berharap positif dari berbagai kebijakan ini. Ya, semoga saja langkah awal dari pemerintahan yang baru ini memang benar demi progresif Indonesia ke depan.
Pro dan kontra memang akan selalu ada dan saling menyeimbangkan. Pihak yang kontra akan selalu ada secara kritis mengiringi kebijakan pemerintah. Pihak yang pro yang menaruh harapan besar dibalik kebijakan ini juga tak salah. Sekalinyapun, belajar dari sejarah, harapan baik memang tak selamanya menghasilkan buah yang manis, tak jarang harapan itu kemudian menjelma kebencian dan penyesalan. Ya inilah yang namanya kehidupan alam manusia, selalu ada pro dan konta, karena memang manusia pada hakikatnya adalah sang penggugat.
Aku sendiri bagaimana? Mungkin aku hanyalah bagian dari manusia-manusia pragmatis, yang sukanya ikut-ikutan dan mudah dipengaruhi. Pada awalnya aku menyikapinya dengan kontra dengan alasan kenaikan BBM ini bukanlah harga solutif yang patas. Masih banyak langkah lain yang dapat dilakukan jika memang hendak memperbaiki sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Namun pada akhirnya, tak begitu saja sepenuhnya setuju dengan kebijakan ini, tapi harapan dan usaha pemerintah juga jangan selalu dipandang pesimis dan negatif. Segala kontrol kontra tetap diperlukan sebagai penyeimbang bagi parlemen pemerintahan dari parlemen jalanan.
Aku tak ikut turun aksi? Ada banyak alasan yang menyertainya. Silahkan saja jika berbagai alasan itu dianggap sebagai bentuk kepragmatisanku. Tapi sekali lagi, banyak hal yang lingkungan lakukan hingga dapat mempengaruhi sikap seseorang. Aku bukan tidak suka aksi atau turun kejalan, tapi kapasitas tiap orang itu berbeda-beda. Mungkin aku masih tak seberani dan segagah kalian, hai sahabat-sahabatku. Aku salut pada kalian yang sebegitu membaranya memperjuangkan idealisme ataupun prinsip kalian. Aku salut pada kalian. Salam pergerakan!!! (semoga pergerakanku dan pergerakan kita, gerakan kalian tak sekedar menjadi gerakan jalan di tempat). (Ls)


Komentar