Kali ini aku ingin bercerita tentang cinta. Tentang asmara. Tentang perasaan yang biasa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan sejak dari zaman purba. Selalu ada ketertarikan tersendiri antar lawan jenis, apapun itu, yang terkadang berdasar alasan (bisa dideteksi penyebabnya) ataupun tidak beralasan (tidak terdeteksi penyebabnya). Ada yag bilang jika cinta itu memang melumpuhkan logika. Ada yang bilang cinta itu buta, buta terhadap kenyataan ataupun terhadap rasio. Segala sesuatunya jika sudah disentuh cinta, mendadak menjadi terasionalisasikan sebagaimana cinta merasionalisasikannya.
Ada yang bilang cinta itu berkaitan denga hati yang gampang dibolak-balikkan dan berbeda dengan rasio yang berhubungan dengan otak. Ya, tak dapat dipungkiri. Banyak cerita bahagia dari manusia terjadi karena yang namanya cinta terhadap pasangannya.
Hati itu dipilih oleh cinta. Bukan hati yang memilih mana yang akan atau harus dicintai. Lalu kemudian hati dan cinta dihubungkan dengan yang namanya jodoh. Jodoh yang telah direncanakan oleh Tuhan sejak zaman azali.
Ada cerita yang aku dengar, banyak yang kemudian patah hati karena salah memilih. Lalu apakah yang demikian ini mendasari pernyataanku sebelumnya. Bahwa memang fitrahnya hati itu dipilih, ya hanya menunggu cinta mana yang akan datang memilih, menjemput dan untuk selanjutnya menentukan putusan jodoh atau tidaknya.
Lalu aku? Apakah aku pernah merasakan cinta? Pernahkah memilih seseorang yang aku anggap pantas untukku atau sesuai dengan yang aku inginkan? Aku sendiri tak tahu harus menjawab bagaimana.
Aku pernah merasakan yang namanya pacaran, ya dua kali tepatnya. Tapi apakah kemudian pacaran itu dapat dijadikan tolak ukur bahwa aku pernah mencintai? Memilih? Dipilih? kembali aku tak dapat menjawabnya.
Jika cinta diartikan sebagai perasaan bahagia karena ada dia yang selalu bisa membuat aku tersenyum dan selalu berharap dia berada di sampingku atau bahkan menemaniku hingga akhir hayat, ya aku pernah merasakan cinta. Tapi jika cinta diartikan sebagai suatu reaksi kimia dalam tubuh yang akan membuat si yang merasakan cinta akan melakukan apa saja untuk orang yang dicintainya, mungkin aku masih belum sampai pada taraf yang sedemikian mencintainya.
Lalu bagaimana jika begini. Aku merasa sedang senang dengan seseorang, dalam hal ini lelaki tentunya ya. Aku masih normal. Aku senang padanya, mungkin bisa jadi karena aku suka mendengar segala cerita uniknya, pengalaman hidupnya yang begitu inspiratif, atau karena suara tawanya yang renyah, atau karena itu adalah dia, yang tidak akan aku rasakan kecuali bukan dia. Aku menyukainya karena dia adalah dia. Aku jatuh cinta karena dia adalah dia. Hal yang demikian boleh saja terjadi bukan? Namun bagaimaa jika dia yang aku suka, yang aku cinta, belum pernah aku temui secara langsung. Dalam artian, aku belum pernah bertatap muka langsung. Aku belum pernah dengan mata kepalaku sendiri melihat warna coklat matanya, warna hitam rambutnya, atau seberapa tinggi ia jika dibandingkan denganku. Aku hanya tahu kabarnya lewat medsos, itu saja. Kami hanya berkomunikasi lewat barisan huruf atau berbicara lewat telfon. Apa mungkin hal yang demikian itu terjadi? Aku jatuh cinta pada sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku jatuh cinta pada seseorang yang tak aku kenal secara utuh. Aku jatu cinta pada seseorang yang belum pernah aku sentuh. Aku jatuh cinta pada lelaki yang selalu percaya diri dengan kemampuannya menarik perhatian wanita. Aku jatuh cinta pada seorang lelaki yang dengan senang hatinya menceritakan tentang mantan-mantannya. Aku jatuh cinta pada lelaki yang mungkin tak bisa aku temui. Atau itu bukan cinta namanya? Entahlah.
Namun, di sisi lain. Ada lelaki lain yang ada secara nyata, dapat hadir secara fisik dan batin, yang siap memberikan perasaannya padaku. Ada lelaki lain yang siap memperhatikan dan mempedulikanku. Dia dapat saja datang padaku jika aku memintanya datang. Dia bisa saja memberikan setiap waktunya jika aku tengah butuh mencurahkan apa yang aku keluhkan atau yang tengah aku rasakan. Aku senang dengan perhatiannya. Aku senang dengan sikapnya. Aku senang dengan berbagai usahanya. Tapi apakah yang ini lantas dapat menghancurkan logikaku tentang seseorang lelaki yang kau suka namun belum pernah bertemu? Apakah hal yang demikian dapat saja aku pasrahi dan belajar menerima? Entahlah.
Aku hanyalah seorang wanita yang berada dalam posisi menerima, tak merasa memantaskan diri untuk memilih, hanya berharap dipilih orang yang tepat. Tepat dalam artian yang juga sesuai dengan keinginanku. Tapi, mungkin benar seperti dalam film “Perahu Kertas”. Hati itu dipilih, bukan memilih. Cinta itu seperti perahu kertas yang tak pernah tahu kemana akan melarung, tak pernah tahu dimana akan menepi, akan sampai ke lautkah, hancur di terjang arus kah? Ya, perahu kertas itu hanya akan melarung kemana arus membawanya. Sama dengan cinta, hati hanya akan mengarungi jalan hingga sampai pada posisi dimana cinta berhasil memilihnya. Maka, kemudian jatuh cintalah pelan-pelan, jangan sekaligus. Karena kebanyakan orang yang jatuh cinta tidak tahu bagaimana caranya melepas.
Aku hanya berikhtiar, semoga ia adalah jodohku. Jika bukan, semoga Tuhan merencanakan hal lain yang lebih indah dari pada jatuh cinta pada seorang yang belum pernah aku temui. Ya, cukup mengagumi dari jauh. Tak perlu meneruskan perasaan suka ini, dan mulai peka terhadap siapa yang datang secara nyata mengetuk pintu hati?Entahlah. Aku hanya sedikit berceloteh.
Tiga tahun lebih tak menerima siapapun yang datang mengetuk pintu hati, ya. Ada banyak alasan dibalik itu semua. Bisa jadi karena aku hanya akan membuka pintu pada orang yang aku pilih atau aku harapkan. Atau karena aku tak mau cepat memutuskan, lebih baik menolak diawal dan melihat seberapa besar usahanya untuk mengistimewakanku, karena katanya salah atu tanda mencintai adalah kemampuannya untuk mengistimewakan yang dicinta, lalu kemudian ketika ia pergi karena terlalu lelah menunggu dan mengetuk, maka ya sudahlah, semoga masih ada orang lain yang akan mengetuk. Bisa jadi juga karena aku belum yakin dan percaya terhadap perkataan yang ia bawa kehadapan pintu hatiku, sehingga aku tak berminat untuk membuka pintu.
Aku hanya beharap. Jika kau jodohku yang datang, aku akan membukakan pintu agar kamu tak menunggu terlalu lama, meski aku tahu kau akan bersedia menunggu hingga sampai kapanpun untuk dibukakan pintu. Untukmu jodohku, aku akan membukakan pintu sembari mengembangkan senyum menyambut kedatanganmu, meskipun aku tahu sekalipun aku tak tersenyum kau akan segera membuatku bahagia karena aku tidak salah telah menerimamu untuk datang dan aku bukakan pintu. Aku akan membukan pintu, sayang. Jika itu kamu. Iya, kamu. Kamu yang berjodoh denganku, entah siapapun kamu itu. (Ls)
Komentar
Posting Komentar