Terik masih selalu setia menghitamkan kulit kami
Tanah gersang dan tumbuhan kering masih menghiasi pandang
Malam gelap, menyusuri pematang sawah berteman senter
Pagi buta merajinkan diri berkutat didapur, menyajikan makanan
Kebersamaan...
Beda bahasa, beda budaya dan beda tradisi
Tapi inilah Indonesiaku
Sejumput kisah pilu dibelantara ceritera tentang bumi pertiwiku
Belahan bumi yang tertinggal oleh kepesatan zaman diluar sana
Kamilah 11 ksatria airlangga yang kali ini tengah menikmati kehidupan pedesaan dalam agenda KKN-BBM angkatan 50 Universitas Airlangga.
Ada banyak kisah menarik kami alami, mulai dari perbedaan budaya, bahasa, tradisi dan gaya komunikasi. Mungkin bagiku dan Hari, bahasa madura sudah tak asing lagi, tapi bagi ke-9 orang lainnya, belajar bahasa madura menjadi kegiatan menarik disetiap harinya. Ada pula kisah menyenangkan bersanding tawa dalam setiap sela-sela kebersamaan kami. Selalu ada saja bahan pengundang tawa. Dari kebersamaan itu, kemudian setiap proker kami jalani bersama dan dengan senang hati. Terlebih berkomunikasi dengan masyarakat madura yang ramah meski nada bicaranya keras. Ada banyak kisah miris dari Desa Rohayu ini, semisal kisah SD negeri yang digusur gegara sengketa tanah. Lalu sekolahpun kembali dibangun di lokasi lain dengan dana ganti rugi dari pemerintah Kabupaten Sampang, meski dana 300 juta yang dikucurkan masih harus terpotong oleh atasan. Alhasil, ruangan yang terbangun hanya 4 ruang. 1 ruang guru, 3 ruang kelas yang masing-masingnya disekat kemudian satu ruang dijadikan dua kelas. Sementara muridnya kemudian berkurang pasca sengketa itu dengan berbagai faktor. Kadang dalam satu kelas hanya ada dua siswa yang masuk, yang lain bolos dengan alasan menemani ibu jualan ke pasar atau mencari air ke desa sebelah. "Di sini air sulit, mbak. Coba mbak tanyakan pasti mereka tidak mandi pagi" Mengajar merekapun harus penuh kesabaran dan perhatian khusus. Pasalnya, kegiatan belajar mengajar jam delapan pagi dan harus segera dihentikan pukul sepuluh, tidak lebih bahkan seringnya kurang dari jam sekian dengan alasan mereka takut di setrap (dihukum) oleh ustadzahnya karena telat mengaji sebelum dhuhur. Kesadaran akan pendidikan formal di sini masih minim, lebih memprioritaskan pendidikan agama. Hal yang demikian kemudian lumayan mengganggu keberlangsungan proses pembelajaran pendidikan formal. Bahkan sekalinyapun biaya sekolah gratis sampai seragam, sepatu, tas dan alat tulis lainnya gratis. Tapi tetap saja banyak yang ke sekolah dengan keadaan muka yang cemong, seragam tak dikancing atau padanan seragam atas dan bawah tak cocok, tak bawa alat tulis, memakai sandal, dan bahkan membawa adik balitanya dengan alasan kedua orang tuanya bekerja dan tidak ada yang bisa menjaga adiknya. Ketika di kelas, pelajaran tak bisa diberikan optimal sesuai modul, pengajaran berlangsung sesuai dengan minat siswa inginnya belajar apa, bahkan banyak anak kelas 4 belum hafal perkalian 3. Inilah wajah pendidikan dipelosok Indonesia. Ada pula cerita miris lainnya yang menyentuh warga lapisan lansia. Mayoritas lansianya, apalagi yang wanita, mereka buta aksara. Akrabnya hanya dengan huruf arab. "Orang tua di sini gak bisa baca tulis alfabet, tapi kalo huruf arab semua jago, mbak", ucab Pak Kades. Mengajari lansia baca tulis tak segampang mengajari anak kecil, meski pelajaran sudah berlangsung lebih dari lima kali, ketika diulang pada pelajaran pertama tentang huruf vokal, semua ingatan mereka seolah terhapus, harus dengan sabar mengulangi pelajaran dari awal setiap kali memberikan materi baru akan pengenalan huruf. Bahkan kami sampai lumpuh logika ketika mengajari mengeja. "B ketemu A dibaca?" "BEA" "Bukan BEA, bu. B ketemu A dibaca BA" Inilah sepenggal kisah mengajari lansia buta aksara, belum lagi ketika belajar menulis. Meski kemarinnya sudah belajar menulis lebih dari selembar, keesokan harinya masih mengajarinya lagi dari awal. "Kadang mangkel sendiri, sampai hilang kesabaran. Tapi mau gak mau harus tetap bersabar mengajari mereka. Apalagi sebagian lansianya sudah rabun, jadi agak susah mengenali bentuk hurufnya" tukas Zulfa. Selepas dari seminggu mengajari mereka, sudah mulai terlihat hasilnya. Meski harus bergelut dengan terik menuju masjid (tempat berkumpul untuk mengajari lansia buta aksara) ba'da dhuhur, teriknya mampu melegamkan kulit. Atau bahkan memakai senter untuk menyusuri pematang sawah di malam hari. Karena siangnya mengajari lansia wanita dan malam ba'da isya' mengajari lansia prianya. Selepas seminggu. Mengajari mereka sudah tak sesulit pertama kali. Ya, karena memang begitulah, mengukir diatas batu lebih abadi ketimbang mengukir di atas air. Belajar sewaktu kecil lebih melekat di banding ketika belajar dikala tua yang gampang lupa. Yah, beginilah sepenggal kisah KKN-BBM 50 Universitas Airlangga. Setitik ketulusan hati untuk mengabdikan sejumput kepemilikan untuk masyarakat pinggiran. Turut merasakan keterbatasan dan kesederhanaan mereka. Di sini, di Desa Rohayu. Dengan tanah gersang, panas, dan kering. Sepanjang jalan dikerubungi tanaman kering dan ringkih kekurangan air. Kondisi jalan berbatu dengan sisa-sisa aspal yang menunjukkan bahwa beberapa tahun silam pernah ada jalan beraspal di desa ini, meski kali ini sudah lebih didominasi jalanan berbatu yang membuat medan sulit bagi pengendara motor. Tapi inilah sejumput bentuk pengabdian kami, 11 ksatria airlangga yang terdiri dari Dewa (koor kelompok), Nizar, Liseh, Hari, Sari, Ade, Zulfa, Zuhria, Tika, Devi dan Nabila.
Komentar
Posting Komentar