Selalu menyisakan kisah menggugah hati. Selalu ada cerita yang membuatku merasa lebih nyaman hidup di kota baik secara fasilitas maupun kualitas pembicaraannya, tapi aku tak mau dibilang si kacang yang pura-pura lupa pada kulitnya. Tidak ada yang meminta dilahirkan menjadi orang miskin dan dari rahim orang berada atau tak dianggap. Tapi itulah seninya hidup. Teringat suatu petuah dari buku, kita boleh terlahir sebagai orang miskin, tapi menjadi hal bodoh jika kemiskinan itu tetap dipertahankan dengan pasrah, terima nasib. Konservatif sekali itu. Karena terlahir menjadi miskin mungkin takdir, tapi mati tetap menjadi orang miskin bukan nasib, tapi suatu kebodohan. Karena hal itu bisa diusahakan. Dan inilah yang saat ini aku lakukan, mengusahakan perbaikan. Menolak menjadi orang miskin dengan segala stigma negatifnya -tidak berpendidikan, asupan gizi kurang, terbelakang, kurang sadar kesehatan dan kebersihan, bla bla bla-
Memang terasa nyaman bertukar fikiran dengan orang berpendidikan, apalagi tingkat intelegensinya lebih tinggi dari kita. Tapi jangan lupa, banyak dibelahan bumi sana yang kemudian butuh saluran ilmu, semangat dan aksimu untuk merubah tingkat kesejahteraan mereka. Ya, merekalah yang selama ini, sepanjang sejarah disebut kaum mustad'afin/proletar/masyarakat pinggiran.
Pulang.
Selalu menghadirkan kesadaran ironis. Mereka (masyarakat desa), setiap hari berangkat pagi sebelum mentari menyembul lalu baru pulang ketika matahari hendak menenggelamkan diri, tapi hasil yang mereka dapat tak seberapa. Bahkan pengajaran tentang pemakaian pupuk/pestisida (menurutku secara berlebihan) yang entah mereka dapat dari siapa, yang membuat konsumsi produksi/perawatan petani meningkat sedang hasil tak terlalu melimpah. Padahal di Jepang dan beberapa negara maju, mereka sudah banyak melarang penggunaan peatisida dan mengurangi konsumsi beberapa macam pupuk dengan alasan membahayakan kesehatan.
Pulang.
Selalu memberiku banyak kisah memancing tawa. Entah karena saat aku pulang, tiba-tiba sepupu/keponakan sudah menikah dan punya anak. Padahal usia mereka masih terlanjur dini. Aku merasa bersyukur masih diberi kekuatan untuk memberontak dari adat nikah muda itu. Aku bersyukur masih bisa menjawab ketika ada yang bertanya kapan nyusul (nikah)?, dengan senang hati aku menjawab "tujuan utama hidupku bukanlah nikah. Seandainya jatah hidupku 60 tahun dan menikah dibawah 20 tahun, lebih dari separuh hidupku akan berkutat dengan masalah keluarga. Bukankah masa muda akan jauh lebih menyenangkan jika ditempuh dengan banyak pengalaman?", khusus untuk ibuku aku menjawab, "yang sabar ya, Bu. Mungkin Ibu tidak akan cepat melihat anakmu ini menikah. Laki-laki bukanlah godaan bagiku. Aku tak takut menjadi perawan tua". Dan seperti biasa, Ibu akan membalas dengan senyum.
Pulang.
Banyak sekali memberiku pelajaran. Pelajaran dan peringatan akan janji dan niatanku ketika aku hendak berangkat kuliah, bahwasanya aku belajar semata-mata diperuntukkan bagi mereka. Memberi sedikit kebahagiaan dan manfaat dari pengetahuanku. Kesadaran mereka akan perawatan medis dan kebersihan masih kurang, lalu untuk selanjutnya bagaimana caraku untuk mengajak mereka perlahan sadar kesehatan dan kebersihan, terlebih bidang profesiku nantinya bidang kesehatan. Khoirunnas anfauhum linnas.
Pulang.
Banyak kisah pilu aku rasakan. Tentang kakakku. Kasihan sekali ia ketika harus terpisah dari anak dan istrinya. Tentang Ibuku. Kasihan sekali ia yang masih harus bekerjakeras di hari tuanya hanya demi terjaminnya makan esok pagi apalagi setelah ditinggal mati oleh suami dan kini ia harus merelakan jauh dari anak perempuannya. Ibu, adalah wanita perkasa dan paling tegar yang aku kenal. Meski tak bisa baca tulis, memegang teguh adat istiadat, tapi dengan berat hati bisa memenuhi keinginan putrinya untuk tidak mengikuti adat, bahwa anak perempuan seusiaku harusnya sudah menikah, anak perempuan sepertiku harusnya di rumah, tidak boleh bepergian jauh dalam waktu lama sendirian. Tapi sekali lagi, aku tidak suka manut pada adat yang demikian.
Pulang.
Walau bagaimanapun, selalu menyenangkan meski menyakitkan. Pulang selalu menjadi tempat ternyaman untuk kembali. Meski dipelosok desa. Meski harus menyaksikan drama tragis. Meski harus menyaksikan airmata ibuku mengalir karena memiliki anak sepertiku yang angkuh tak mau tinggal saja di rumah.
Pulang itu menyakitkan. Karena ternyata aku harus sadar, bahwa aku tak seberani itu benar-benar perpijak pada keangkuhanku untuk belajar dan berusaha memperbaiki nasib. Terlebih melihat usaha ibuku yang setiap hari pontang-panting bekerja. Melihat kakakku yang harus merelakan jauh dari anak dan istrinya, membiarkan kerjakeras di sawah menantang matahari, menggerogoti tubuhnya hingga legam dan kurus demikian.
Pulang itu menyenangkan. Ya, tetap menyenangkan ketika ibu ditengah lelahnya setelah bekerja masih tetap bangun sebelum subuh untuk masak tumis kacang panjang, kesukaanku, sebelum ia brangkat ke sawah. Senang melihat senyum sumringah ibu ketika bercanda dengannya. Senang ketika aku hendak kembali ke Surabaya, meski ia bekerja di sawah, ia rela pulang lagi dan membantuku mempersiapkan barang. Ia selalu bilang, "lebih baik meninggalkan pekerjaan dibanding tidak melihat punggungmu ketika berangkat". Aku tahan airmataku ketika kau mengucapkan demikian, ibu.
Pulang
Pulang
Pulang
Aku adalah anak desa, dari keluarga buruh tani, dari keluarga tidak berpendidikan, 7 bersaudara tapi hanya aku yang mampu mengenyam pendidikan hingga MA dan kini kuliah.
Aku anak desa, dari keluarga tidak berpendidikan tapi kali ini sedang berusaha mengecap nikmatnya pendidikan dan pengalaman hidup dengan segala dinamikanya. (Ls)
Ditulis dalam kereta, perjalanan Kalisat-Surabaya. Minggu, 29 juni 2014. 10:26
Komentar
Posting Komentar