KEKACAUAN YANG MENGACAUKAN


                Keinginan manusia memang tiada berbatas ya? Padahal waktu, usaha dan pengorbanannya selalu berbatas. Bagaimana mungkin manusia yang dihadapkan pada segala keberbatasan itu bisa dengan anarkinya mengadakan keinginan tanpa batas? Ya, karena itulah manusia yang pada hakikatnya selalu menuju ke arah kesempurnaan dan ranah kesempurnaan itu tidak dibatasi oleh keberbatasan, karena sekali kesempurnaan itu dibatasi keberbatasan, maka seketika itu juga kesempurnaan belum mampu disebut kesempurnaan.
                Oleh karenanya, manusia mewujudkan kesempurnaan eksistensinya dengan berbagai keinginan tak berbatas, meski pada realitasnya manusia hanya mampu mewujudkan beberapa keinginannya (ada pembatasan yang membatasi).
Contohnya, mungkin aku awalnya menganggap tidak mengapa aku menceburkan diri dalam faham ilmu yang tidak begitu menarik dan disenangi (farmasi), toh diluar waktu kuliah aku masih punya waktu untuk melampiaskan kelaparanku akan hal yang berbau sosial. Namun, pada titik tertentu yang bahkan semakin menuju puncak, antara ilmu farmasi dan ilmu sosial kemudian berebut tempat untuk mencuri prioritas pembagian waktuku. Satu sisi aku harus belajar dan mengerjakan segala tugas yang dibebankan kepadaku sebagai konsekuensi statusku sebagai mahasiswi farmasi dan nantinya, mau tidak mau, aku akan dimintai pertanggungjawaban terhadap gelar sarjana farmasi berupa indikator seberapa faham aku terhadap ilmu farmasi.
                Di sisi lain, ilmu sosial yang jauh lebih aku sukai perlahan mulai menjarah porsi dari si farmasi. Inginnya aku punya lebih banyak waktu untuk mempelajari berbagai pertanyaan seputar pemikiran kritis, dunia filsafat, historitas 'sejarah' dan lain sebagainya hingga kemudian aku mampu menelurkan analisisku sendiri terkait fenomena yang terjadi dalam tubuh si sosial. Tapi realitasnya, keinginan itu terbentur dan dibatasi oleh statusku sebagai mahasiswi farmasi yang mewajibkanku menguasai ilmu farmasi. Kedua realitas itu berperang beradu tanding mempertanyakan keberpihakanku yang kemudian seolah menghujatku yang tak bisa menentukan sikap.
                Tapi mau bagaimana lagi? Harusnya memang aku bisa memilih, tapi aku masih takut untuk secara tegas menentukan pilihan keberpihakanku karena saat aku memilih, aku akan dimintai pertanggungjawaban terhadap 'penghianatanku' pada sisi yang lain. Sekilas ada selentingan pikiran yang bersuara bahwa keduanya bisa saja menjadi pilihan yang aku kerjakan dalam satu waktu mesti tidak bersamaan. Namun, sisi pikiran yang lain menolak karena jika aku memutuskan untuk terus melanjutkannya, aku tidak akan pernah sampai pada kepuasaan batin saat aku gila mempelajari dan tenggelam di dalamnya. Selalu sikap dan pilihan itu menghantui.


                Di lain cerita, akibat dari dua sisi yang berlainan itu, kemudian hidupku semakin kacau dengan banyak pelarian. Pelarian-pelarian itu kemudian berbalik berlari mengejarku. Terlalu banyak pilihan yang memaksaku untuk melaksanakannya. Hidupku semakin kacau. Lalu dalam kekacauan itu aku berandai-andai, bagaimana jika aku memilih hal yang aku suka. Lalu kekacauan itu semakin kacau saat hal yang tidak aku suka namun menjadi kewajibanku untuk menyelesaikannya meminta pertanggungjawabanku atas pernyataan awal bahwa aku bisa melakukan keduanya dengan porsinya masing-masing. Dan kemudian secara ajaib, proses kembali berulang pada penyingkronan terhadap pembagian waktu terhadap keduanya, lalu dari ketidak senangan itu muncul pelarian, dari pelarian muncul penggugatan terhadap kewajiban, lalu gugatan itu semakin lama semakin membentuk kekacauan yang kacau. Lalu ternyata aku menyadari, solusi yang selama ini aku coba tawarkan pada diriku sendiri sama sekali tidak solutif, justru malah semakin menambah kekisruhan terhadap kekacauan itu sendiri. Ternyata keegoisan dalam diri manusia yang selalu menuntut kesempurnaan, berbanding terbalik dengan realitas manusia yang tidak pernah bisa secara total mewujudkan kesempurnaan ingin, karena selalu berbatas dan dibatasi. (Ls)

Komentar