MANUSIA: SI MANUSIA YANG MANUSIAWI?


                Manusia. Bukan hanya sebatas mencari jati diri dengan menjadikan hidup sebgai sarana utama untuk pematangan atau yang disebut sebagai ‘kedewasaan’. Saat aku kecil, aku berfikir akan sangat menyenangkan sekali menjadi orang dewasa yang bisa melakukan banyak hal dan pendapatnya dapat didengarkan, sedang aku yang masih kecil, omongannya dianggap hanya ocehan yang tak perlu menjadi bahan pertimbangan. Ketika aku mulai menginjak masa yang dinamakan masa dewasa, persisnya saat usiaku mulai menginjak kepala dua, ternyata tak segampang itu menjadi pribadi yang dianggap dewasa, setiap tindakan dan ucapan benar-benar harus difikir matang karena kalau tidak, akan menjadi auman yang akan segera memangsamu sendiri.
                Banyak hal yang semakin ingin aku ketahui, semakin banyak yang ternyata tidak aku ketahui. Semua tentang kepentingan dan kekuatan atau kekuasaan. Kekuatan yang sama sekali sudah beda arti dengan pengertian gadis tomboy saat aku kecil. Dulu, yang aku maksud kuat adalah orang yang menang berkelahi, yang ditakuti oleh anak-anak lain karena kekuatan otot atau perintahnya. Tapi sekarang, saat aku banyak belajar di dunia kampus, yang dinamakan kekuatan bukan sekedar saat kau bisa menang berkelahi melawan anak laki-laki, tapi bagaimana pemikiranmu dapat di terima dan mampu mempengaruhi mereka untuk menerimamu. Semakin menginjak usia dewasa, aku (sebagai perempuan) mengalami penurunan kekuatan fisik, ya itulah kodrat sebagai wanita yang selalu dianggap memiliki fisik lebih lemah di banding laki-laki. Sebenarnya ada banyak hal yang bisa aku kerjakan sendiri, tapi mereka yang memandang cara berpakaianku –berjilbab, memakai rok- seolah menjadikan mereka jauh lebih pantas melakukannya. Yah, inilah yang namanya kehidupan manusia.
                Kemudian aku mulai merubah sikap angkuhku yang selalu bilang dapat melakukannya sendiri, lalu mulai terbuka menerima uluran tangan mereka (laki-laki) dan membiarkan mereka menganggap pantas disebut laki-laki karena berhasil membantuku yang perempuan. Ya, aku biarkan itu. Meski sejatinya ingin rasanya aku memberi tahu mereka bahwa kerelaanku untuk dibantu hanyalah ingin mempermainkan mereka. Membiarkan mereka selalu merasa pantas untuk dianggap penting dan mempersilahkan mereka bermain dengan kepentingan itu. Semuanya, ya semua, setiap insan, setiap jiwa yang mengaku hidup, laki-laki atau perempuan, muda ataupun tua, kecil ataupun dewasa, selalu akan merasa senang jika merasa dipentingkan dan diberi kepercayaan untuk memainkan peranan kepentingan itu. Tinggal bagaimana kita mengkomunikasikannya, kita bisa membiarkan (memperalat) mereka untuk tetap asyik dengan kepentingan mereka.
                Keangkuhan atau kemarahan sering kali beradu membuat masalah menjadi runyam, tapi itulah seninya hidup, siapa yang berhasil mengendalikan emosi, dia mampu mengendalikan musuh terbesarnya, yaitu dirinya sendiri. Aku pernah menjadi pribadi yang dianggap begitu dewasa dan tenang dalam menghadapi permasalahan, tapi di sisi lain, saat amarah menguasaiku, aku berubah menjadi anak kecil yang rakus perhatian dan merasa semua orang yang berada di sekitarku harus memaklumi keadaanku. Ah, begitu nistanya. Aku membiarkan tangis meluap di hadapan umum sebagai bentuk ketidakberdayaanku melawan amarah yang begitu bergejolak dalam diriku. Aku membiarkan kata-kata bernada tinggi merusak ruang dengar orang-orang di sekitarku saat aku tidak bisa membujuk diriku agar mampu bernegosiasi dengan amarahku. Yah, begitulah manusia. Aku rasa bukan cuma aku saja yang bertindak dan berfikir demikian, itu manusiawi bukan?
                Dulu, aku merasa sangat takut jika mendapati diseluruh dunia ini hanya aku yang menjadi aneh dan berfikir tidak seperti apa yang difikirkan orang kebanyakan. Tapi, apakah itu benar? Sekarang coba fikirkan, berapa milyar jumlah penduduk di dunia ini? Kevalidan suatu faktapun masih ada simpangan deviasinya, itu artinya tidak mungkin hanya ada satu data eror. Berarti aku tidak sendirian di dunia ini yang bisa saja berfikir dan bertindak aneh.
                Lalu, memang apa itu ‘aneh’? Apakah ada yang bisa mendefinisikan dan memberikan permisalan secara signifikan? Lalu ada yang menjawab, aneh adalah sesuatu yang tidak biasa kita lihat, kecenderungan yang menyimpang dari umumnya. Lalu, ketika sesuatu yang pada awalnya disebut aneh dan kemudian perlahan sering kita lihat dan secara signifikan beralih menjadi pandangan umum, predikat aneh itu akan segera terhapus? Ya, bisa jadi begitu. Karena memang sejatinya di dunia ini tak ada yang bisa menjamin segala sesuatunya berjalan sesuai dengan pengetahuan kita. Apa-apa yang meliputi wilayah pengetahuan kita anggap wajar, sedang hal yang masih diluar area pengetahuan dianggap tidak wajar atau aneh, berarti hanya tinggal mengulangi pengenalan terhadap hal aneh itu kemudian secara ajaib kita tidak lagi menyebutnya aneh? Ya, bisa jadi demikian adanya. Apa hal yang demikian ini juga dianggap manusiawi?

                Yah, berbicara dengan diri sendiri apalagi di tengah malam memang akan membuat otak kita berkelana terlalu jauh. Banyak hal yang dibicarakan malah menyelewengkan tujuan awal pembicaraan ini. Apakah ini bisa disebut manusiawi? Ataukah sebutan manusiawi itu hanyalah sebutan yang mausia berikan sebagai bentuk dispensasi terhadap hal yang sebenarnya tidak patas dimasukkan dalam ranah kemanusiawian? Ah, entahlah. Semakin lama membiarkan jemari ini menekan tombol demi tombol keyboard malah semakin tak tentu arah pembicaraan yang ingin aku utarakan. Tapi aku senag, setidaknya masih ada yang bisa aku gunakan sebagai alat pemanusiawian diri untuk menceritakan apa yang aku alami dan yang aku fikirkan. Karena aku adalah manusia yang selalu butuh untuk didengarkan. Ya, aku adalah salah satu manusia yang memiliki tingkat keegoisan dan ke-aku-an yang sangat tinggi. Selalu butuh diperhatiakan tanpa harus meminta untuk diperhatikan. Haha. Dasar aneh. Apalagi ini, aku sendiri menyebut diriku aneh? Padahal aku sudah menjalani kehidupan dan proses hidup bersama diri dan tubuh ini selama 20 tahun lebih tapi sekarang aku masih menyebutnya aneh? Apa waktu 20 tahun itu belum cukup untuk mengenali sesuatu? Lalu bagaimana dengan kawan dan orang-orang yang aku bilang telah mengenalnya? Apa aku benar-benar mengenal mereka? Tidak, sama sekali tidak. Aku hanya dibiarkan sedikit mengenal kehidupan mereka. Selalu ada banyak misteri yang melingkupi tiap insan yang mengaku hidup. Karena setiap yang hidup selalu memiliki setidaknya 3 rahasia yang tidak akan membiarkan siapapun menyentuh ruang rahasia yang gelap dan begitu dalam. Semua ini masihkan disebut ruang ‘kemanusiawian’? (Ls)        

Komentar