Seberapa besar hasil yang ingin dicapai, tergantung seberapa besar usaha yang kau kerjakan. Sesimpel itu kan rahasia keberhasilan? Tinggal bagaimana kita memnyeting diri untuk berjuang dalam usaha sampai pada titik dimana dikira sudah cukup memenuhi spesfikasi keberhasilan yang kita rencanakan. Begitukan?
Tapi yang namanya manusia seringnya mudah dipengaruhi. Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan kecacatan rencana keberhasilan itu. Ada banyak godaan yang siap menggoyahkan pencapaian. Lalu kemudian teori bergeser pada, seberapabesar keberhasilan yang ingin kau capai, tergantung seberapa tangguh kau memalingkan diri dari jibunan godaan yang selalu siap menggelincirkanmu dari tangga-tangga pencapaianmu.
Berbicara tentang cita-cita, tujuan hidup dan jati diri. Dulu tak pernah aku fikirkan jangka panjangnya dan persiapan atas hambatan yang mungkin saja ada. Jika ditanya cita-cita, aku akan mejawab menjadi penulis atau jurnalis, karena saat itu aku tengah gandrung dengan kegiatan menulisku. Tapi sesaat aku pertanyakan. Apa yang sudah aku capai dalam karir kepenulisanku? Apa sudah pantas aku menyatakan bahwa menjadi jurnalis adalah tujuan hidupku? Ternyata tidak, ada banyak saat dimaa aku merasa malas dan kegiatan lainnya menghalangiku dari menyukai dunia tulis-menulis. Lalu, saat menginjak dunia kampus, (Dulu aku khawatir tidak bia kuliah) dalam do'a aku ucapkan kesungguhan untuk diizinkan menikmati indahnya masa kuliah, tanpa berfikir panjang jurusan apa yang aku ingin tekuri. Farmasi? Aku fikir aku bisa mempelajarinya.
Sekarang? Setelah 5 semester hampir berlalu, meski pontang-panting aku berusaha merasakan kenyamanan berproses dan belajar mencintainya, tetap saja tidak aku temukan diriku menikmatinya. Malah aku merasa menemukan kepuasan batin dibalik kajian sosial dan filsafat itu.
Terlambat jika aku memilih mundur. Karena dulu aku yang memilih jalan ini. Satu-satunya cara adalah menyelesaikan bagian ini (kuliah) sebisa dan semampuku, tanpa boleh aku lalaikan, karena ini adalah bagian dari kewajiban yang dibebankan padaku.
Cita-cita?
Sepertinya aku harus berfikir ulang tentangnya. Tak boleh asal jawab berdasarkan suasana hati. Apa yang aku kerjakan sekarang adalah cerminan aku dimasa depan. Sebab sumber masa depan ada pada masa sekarang.
FarmasisApoteker?
Suatu jawaban mutlak yang harus aku iyakan bukan hanya dengan lisan, tapi juga tanggungjawab berdasarkan keilmuan yang aku bidangi.
Sulit?
Itu hanya alasan untuk berkilah, karena setiap diri manusia bisa diprogram sesuka hati dan sekehendak mereka untuk menjadi apa mereka. Lalu sekarang, aku hanya tinggal memaksakan diri berkecimpung di dalamnya (farmasi) kan? Iya, tidak boleh jadi pecundang yang sukanya menghindar dan lari bersembunyi.
Perubahan itu pasti. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dan mengikuti aturan main dari kehidupan yang selalu menyeleksi keproduktifan setiap pemainnya.
Khoirunnas Afaum Linnas.
Bukankah itu yang sering aku kumandangkan sebagai motto hidup? Maka belajarlah yang rajin di Farmasi untuk menjadikan diri sebagai lahan subur yang dapat memberi kemanfaatan.
Tapi yang namanya manusia seringnya mudah dipengaruhi. Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan kecacatan rencana keberhasilan itu. Ada banyak godaan yang siap menggoyahkan pencapaian. Lalu kemudian teori bergeser pada, seberapabesar keberhasilan yang ingin kau capai, tergantung seberapa tangguh kau memalingkan diri dari jibunan godaan yang selalu siap menggelincirkanmu dari tangga-tangga pencapaianmu.
Berbicara tentang cita-cita, tujuan hidup dan jati diri. Dulu tak pernah aku fikirkan jangka panjangnya dan persiapan atas hambatan yang mungkin saja ada. Jika ditanya cita-cita, aku akan mejawab menjadi penulis atau jurnalis, karena saat itu aku tengah gandrung dengan kegiatan menulisku. Tapi sesaat aku pertanyakan. Apa yang sudah aku capai dalam karir kepenulisanku? Apa sudah pantas aku menyatakan bahwa menjadi jurnalis adalah tujuan hidupku? Ternyata tidak, ada banyak saat dimaa aku merasa malas dan kegiatan lainnya menghalangiku dari menyukai dunia tulis-menulis. Lalu, saat menginjak dunia kampus, (Dulu aku khawatir tidak bia kuliah) dalam do'a aku ucapkan kesungguhan untuk diizinkan menikmati indahnya masa kuliah, tanpa berfikir panjang jurusan apa yang aku ingin tekuri. Farmasi? Aku fikir aku bisa mempelajarinya.
Sekarang? Setelah 5 semester hampir berlalu, meski pontang-panting aku berusaha merasakan kenyamanan berproses dan belajar mencintainya, tetap saja tidak aku temukan diriku menikmatinya. Malah aku merasa menemukan kepuasan batin dibalik kajian sosial dan filsafat itu.
Terlambat jika aku memilih mundur. Karena dulu aku yang memilih jalan ini. Satu-satunya cara adalah menyelesaikan bagian ini (kuliah) sebisa dan semampuku, tanpa boleh aku lalaikan, karena ini adalah bagian dari kewajiban yang dibebankan padaku.
Cita-cita?
Sepertinya aku harus berfikir ulang tentangnya. Tak boleh asal jawab berdasarkan suasana hati. Apa yang aku kerjakan sekarang adalah cerminan aku dimasa depan. Sebab sumber masa depan ada pada masa sekarang.
FarmasisApoteker?
Suatu jawaban mutlak yang harus aku iyakan bukan hanya dengan lisan, tapi juga tanggungjawab berdasarkan keilmuan yang aku bidangi.
Sulit?
Itu hanya alasan untuk berkilah, karena setiap diri manusia bisa diprogram sesuka hati dan sekehendak mereka untuk menjadi apa mereka. Lalu sekarang, aku hanya tinggal memaksakan diri berkecimpung di dalamnya (farmasi) kan? Iya, tidak boleh jadi pecundang yang sukanya menghindar dan lari bersembunyi.
Perubahan itu pasti. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dan mengikuti aturan main dari kehidupan yang selalu menyeleksi keproduktifan setiap pemainnya.
Khoirunnas Afaum Linnas.
Bukankah itu yang sering aku kumandangkan sebagai motto hidup? Maka belajarlah yang rajin di Farmasi untuk menjadikan diri sebagai lahan subur yang dapat memberi kemanfaatan.
Komentar
Posting Komentar