EPISTIMOLOGI, ONTOLOGI DAN AKSIOLOGI

DIALEGISTAI (komunitas sahabat diskusi filsafat)

Pemateri: Bpk. Listiyono Santoso (dosen fakultas ilmu budaya Universitas Airlangga)

                Negara yang mempunyai tradisi berfilsafat, pasti tradisi berfikirnya liar. Liar dalam artian menolak tunduk pada status kuo, pada sesuatu yang baku. Filsafat Yunani kuno sering kali dihubungkan dengan mitologi karena keterbatasan pengetahuan/logika. Seiring dengan bergantinya zaman, filsafat kemudian berkembang. Cara fikir filsafat adalah tidak puas dengan sesuatu yang disebut organisasi melembaga, seringnya malah mengganggu status kuo yang dianggap benar. Maka dari itu kemudian orang-orang yang senang blajar filsafat dianggap aneh, disingkirkan, bahkan dibunuh seperti Sokrates ataupun opernicus. Sokrates adalah korban tumbal kebenaran dengan logika. Dengan ‘Dialektika’ nya dia terus berdialog dengan orang-orang disekitarnya yang kemudian menghasilkan hipotesa, hipotesa diuji kembali hingga tidak ditemukan jawaban lagi. Mungkin tujuan ‘Dialektika’ ini sebenarnya ingin menyadarkan bahwa sebenarnya banyak orang haya sok tau bukan benar-benar tau akan sesuatu yang dibicarakannya. Maka dari itu, kemudian Sokrates dianggap mengacam kepentingan pemerintahan kala itu karena ditakutkan menggangu peraturan yang sudah melembaga. Hingga akhirnya Sokrates mati dengan minum racun. Begitu pula Copernicus, dia  dibunuh atas pernyatannya bahwa yang benar adalah Heliosentris (matahari pusat tata surya), bukan geosentris. Terlihatlah bahwa “belum tentu sesuatu yang dianggap benar selama ini adalah sebuah kebenaran, bisa jadi kebenaran itu adalah kesesatan yang nyata”, maka dari itu sedikit sekali orang-orang yang memelihara filsafat, dianggap golongan minoritas, yang semoga minoritas kreatif.
                Tradisi berfilsafat adalah tradisi berdialektika yang bergerak terus untuk mendewasakan cara berfikir. Tradisi berfilsafat ini lahir pertama kali di Babilonia, baru kemudian merambat ke Yunani, negara-negara Eropa seperti Inggris, Jerman, dan Prancis. Negara yag memiliki tradisi berfilsafat biasanya perkembangan IPTEK-nya luar biasa. Maka tak heran jika seperti Inggris dan Prancis dalam sejarah menjadi sentral perubahan dan revolusi seperti revolusi industri, revolusi sosial. Kalau di Amerika, mereka memiliki tradisi filsafat pragmatis.
                Menurut Hegel, “Kebenaran itu harus ditemukan bukan diwariskan”. Proses menemukan itu butuh perjuangan dan pencarian dengan menggunakan logika berfilsafat, sedang kalau warisan hanya menerima apa adanya. Di sinilah letak perbedaan filsuf, ilmuwan dan orang awam. Filsuf adalah penemu kebenaran, ilmuwan adalah pencari kebenaran, sedang orang awam kebanyakan hanya menerima saja apa yang diberikan oleh orag lain yang dianggap benar, sekedar membenarkan kebenaran yang dianggap benar.
                Menurut teori pos kolonial, “setiap pemikiran punya jejak”. Setiap manusia tidak pernah bisa berfikir orisinil, pasti ada jejak yang bisa dirunut berdasarkan pengalamannya. Pengalaman membentuk konstruksi pemikiran/pengetahuan kita, apa yang kita terima dari masa lampau seperti warisan tanpa tulisan yang akan membentuk cara berfikir kita. Berfikir filsafat adalah berfikir kritis yang bisa ditelusuri jejaknya. Dari penelusuran kita bisa melihat sesuatu itu memang subuah kebenaran atau justru adalah kesesatan yang terawat. Mengapa kesesatan justru dirawat? Karena diyakini akan memberikan kebahagiaan. Kedamaian atau kepuasan batin hanyalah masalah persoalan penerimaan. Sebagai contoh, aliran yang selama ini dianggap sesat, tapi mengapa masih banyak pengikutnya? Ya, karena mereka merawat sesuatu yang oleh kebanyakan (general) diaggap sesat, sedang mereka yang menganutnya merasa nyaman-nyaman saja justru merasakan kedamaian saat menjalankannya. Namun jejak yang berbeda, akan menimbulkan anggapan yang berbeda.
                Menurut mozaik kehidupan, pemikiran kita tentang segala sesuatu jika dibuka, isinya Cuma kutipan, tidak ada yang otentik hasil pemikiran kita. Cara berfikir ini menyodorkan cara berfikir mainstreem yang berbelok dari pemikiran umum. Nah, biasanya orang yang sudah mapan baik secara taraf hidup ataupun pangkat, kurang suka diajak berfikir mainstreem, karena dianggap akan mengganggu stabilitas kemapanannya.
                Belajar ilmu filsafat adalah bagaimana kita tidak mudah tunduk pada kekuasaan, karena seringkali banyak selimut ideologi dalam sebuah kelompok yang menghegemoni (yang berkepentingan), bisa pula merujuk pada teori dominasi. Belajar ilmu filsafat bisa dengan pendekatan historik, seperti mulai dari filsafat Yunani kuno. Ataupun pendekatan sistematik (cabang), secara ontologi (metafisika, paradigma memahami kenyataan) dan epistimologi. Ontologi mempelajari tentang struktur dasar yang memuat hakikat (‘apa’), inilah yang menjadikan bahasan ontologi agama bukan sesuatu yang menempel pada agama seperti terhadap simbol, tapi lebih pada hakikat agama itu apa. Kebenaran agama adalah kebenaran dogmatis, sedang kebenaran ilmu bersifat skeptis. Teori tidak boleh berkembang menjadi dogma, karena teori hanya mendekati kebenaran yang didapat melalui pancaindra. Maka dari itu konstruksi ilmu bersifat terbatas.               
                Materialisme adalah bentuk terbatas dari naturalisme. Naturalisme adalah keseluruhan kenyataan yaitu hukum alam yang berupa kejadian/peristiwa. Struktur dasar (ontologi) dari kenyataan adalah materi. Semua ilmu pengetahuan adalah konsekuensi logis dari materialisme. Sehingga penamaan atas segala sesuatu itu secara material. Tubuh manusia adalah materi, jiwa pun adalah materi, karena jika bukan materi tidak mungkin ada psikiater dan bidang ilmu psikologi yang mempelajarinya. Menurut faham materialisme ini, orang mati bukan karena nyawanya dicabut tapi karena mesin (organ) dalam tubuhnya tidak ada yang bekerja, bisa jadi sebagai konsekuensi dari tidak bisanya menjelaskan nyawa dicabut. Sehingga teori kebenaran ilmu lepas konteks dari agama, sebab ilmu pengetahuan butuh verifikasi.
                Ilmu adalah salah satu alat untuk menemuka kebenaran. Pengetauan itu ada 4 (empat). Pertama, comon sense (pengetahuan awam). Kedua, pengetahuan ilmiah, seringkali tidak bisa menangkap hakikat karena harus bisa dirasionalisasi. Ketiga, filsafat (spekulasi), memperebutkan daerah tak bertuan yang selama ini diperebutkan antara ilmu dan agama (teologi), memperantarai ilmu dengan agama. Sehingga bahasannyapun kadang sedikit menyentil ilmu ataupun bersangkutan dengan teologi. Keempat, agama, yang dianggap wahyu keyakinan yang tidak bisa membuktikan keberadaan Tuhan, jika bisa dibuktikan malah akan mendistorsi sakralitas agama. Agama menempati wilayah nonrasional (tidak berhubungan dengan akal-budi). Nah ini bedanya antara ilmu, agama dan legenda. Jika ilmu bersifat rasional, agama nonrasional, maka legenda bersifat irrasional. Namun bukan berarti legenda ini tidak butuh dan lebih baik dimusnahkan, tapi penting pula untuk membangun petuah kehidupan.
Apakah ilmu pengetahuan dan agama adalah satu kesatuan?
                Menurut addin (dalam konteks agama islam) antara ilmu dan agama adalah satu kesatuan sebagaimana yang tergambar dalam Al-Qur’an. Namun di Al-Qur’an tidak memuat ranah ilmu secara gamblang. Ada surah yang isinya tersirat dan tersurat. Namun jika agama diartika general sebagai religi, antara domain ilmu dan domain agama itu beda. Karena ilmu harus melahirkan verifikasi atau pembuktian, terorganisir dan teruji secara empirik. Sedang domain agama bisa menghasilkan ilmu tapi tidak boleh dijadikan ilmu. Karena ranah agama berkutat pada perbedaan baik/buruk dan masalah keyakinan,  tidak semua bisa diuji secara empirik, sedang ilmu itu diawali dengan keragu-raguan, lalu diadakanlah pembuktian, sehingga ilmu bersifat tentatif/tidak absolut atau kata lainnya mendekati kebenaran universal. Pada kajian keilmuan, saat proses verifikasinya bisa menghasilkan ‘salah’ (hipotesis awal), bisa menghasilkan kebenaran jika berhasil lulus verifikasi, yang kemudian dianggap ilmu. Nah, ilmu di sini tentunya bebas nilai dan netral. Implementasi ilmu inilah yang disebut aksiologis. (Ls)

               


Komentar