Bukan Pahlawan Kata-Kata

*cerpen 3 tahun yang lalu* 
kadang ngakak kalo baca karya jaman jadul, jaman ababil, abg labil. hehe


Aku merasakan setiap dawai kepedihan dalam setiap hembusan nafasku. Detik berlalu menusuk anganku dan menghancurkan segala mimpiku. Aku sungguh menyedihkan, bahkan orang paling menyedihkan di dunia ini karena aku dibodohi dengan senyumku sendiri yang tak sedikitpun mengurai damai. Kini aku sendiri terperangkap dalam bayang. Aku tak mungkin lagi memiliki dan tak mungkin untukku menagih sesuatu yang tak bisa kumiliki. Mungkin pula saat ini akupun tak bisa memeluk apa yang kudamba. Tak pernah bisa aku menyanjung mimpi yang kini terasa tercekik, jikapun ada sesuap harapan itupun tak untuk memuaskanku. Saat ketidak adilan masuk melalui celah-celah bahagia aku tak mampu untuk berkutik. Aku tak bisa membohongi hati bahwa mimpi telah melumat asa menjadi putus asa.
          Lantunan keputus asaan itu terasa begitu sangat memilukan, bukan?. Tapi itulah yang kini tengah menindih hati seorang gadis 17 tahun bernama Nayla. Sayup-sayup suaranya mulai parau melantunkan lanjutan bait demi bait puisi keputus asaan. Ia berada dalam teduhan atap jerami dan belaian mesra angin sepoi-sepoi sore hari sambil dihiasi oleh keanggunan mentari senja lewat warna jingganya di ufuk barat yang menyiratkan bahwa hidup adalah pengharapan. Alunan syair yang disenandungkan gadis itu terasa sedang hendak mengantar mentari keharibaannya saja. Tapi tentu sambutan itu tak menyenangkan hati sang mentari. Namun gadis itu tak peduli. Yang ia pedulikan sekarang adalah bagaimana menenangkan hatinya yang dilanda bencana hingga air mata tiada henti melintasi wajah melankolisnya. Perasaan kecewa, itulah yang kini ia rasakan.
          “Nay!”. Panggilan sang ibu telah berhasil menarik Nayla kembali kealam nyata, setelah lama menyelami perasaannya.
“Iya, Bu. Ada apa?”. Jawab Nayla mengusap air mata.
          “Ada nak Fikri di depan tu”.
          “Suruh ke sini saja, Bu”.
          Segera sang ibu menghilang. Nayla lantas membereskan buku diary-nya dan membenahi diri untuk menyambut sahabat karibnya sejak ia menginjakkan kaki di bangku SMA.
          “Hai, Nay!”. Sapa Fikri lantas duduk di samping Nayla.
          “Hai!. Ngapain ke sini?”.
          “Mau pinjam catatan MTK-mu, Nay. Besok kan ulangan, Boleh?”.
          “Ada di kamar. Ambil saja sendiri.”
          “Makasih”. Hampir saja Fikri beranjak, namun segera ia urungkan niatnya untuk lalu duduk kembali.
          “Ada yang aneh denganmu hari ini, Nay?”.
          “Apa?”.
          “Kamu kenapa lagi sich?”.
          “Kenapa?. Ngga’ apa-apa ko’”.
          “Ga’ usah bohong. Kamu habis nangis kan?”.
          “Aku lagi kecewa, sedih, bingung, putus asa mungkin”.
          “Wih! Lengkap banget tuch, kaya’ permen Nano-Nano aja, lengkap rasanya”.
          “Atau mungkin, aku lagi patah hati”.
          “Patah hati?. He……karena  cinta?.
          “Ye…memang patah hati cuma karena  cinta apa?”.
          “Biasanya kan seperti itu”.
          “Nah!. Berarti ini tuch diluar dari biasanya”.
          “Terus patah hati kenapa?”.
          “Naskah novelku ditolak”.
          “Cuma gara-gara itu kamu nangis?. Ha…ha….”.
          “Ngga’ usah ketawa, ga’ lucu”.
          “Sorry!. Lagian kamu, bukannya kamu udah biasa?”.
          “Aku kecewa berat, tahu?. Rasanya semua orang yang selama ini nawarin untuk bantuin aku malah ga’ tahu kabarnya gimana. Seakan-akan mereka pergi gitu aja setelah memberi harapan kosong. Rasanya aku pengen berhenti aja untuk nulis. Ga’ ada gunanya kalau akhirnya aku harus terus dikecewakan. Apa aku salah dengan semua mimpiku selama ini?”.
          “Ga’, ga’ ada yang salah dengan mimpi, bukankah manusia hidup takkan pernah lepas dari mimpi?. Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu, itu kata Andrea Hirata. Bukankah kamu sendiri yang cerita sama aku? Nayla! Ayolah! Weak up, girl! Ini baru pertama kalinya kan kamu ditolak? Jangan cepat putus asa seperti ini dong! Kemana seorang Nayla yang begitu bersemangat yang kukenal selama ini?”.
          “Sudah mati, dikubur kemarin”
          “Terus yang di depanku ini siapa dong? Hantunya?”
          “Iya, makanya pergi sana biar ga’ ditelan hidup-hidup”
          “Nayla, please! Kenapa kamu jadi lemah mental seperti ini?. Banyak penulis-penulis sukses yang tulisannya berpuluh kali ditolak. Tapi mereka ga’ nyerah, contohnya Jazimah al_Muhyi, 36 cerpennya ditolak, tapi dia tidak pernah menyerah. Thomas Alpha Edison telah bereksperimen sebanyak 999 kali dan semuanya gagal. Tapi apa dia menyerah begitu saja? Tidak. Andai saja di percobaan yang ke 1000 ia mundur, mungkin saat ini kamu ga’ bisa nonton TV atau denger musik dari MP4 kamu itu. Nah kamu? Baru sekali, Nay! Contoh mereka jangan mudah nyerah gitu dong!”.
          “Ngomong gampang, kamu mana tahu seperti apa perjuangan dan pengorbananku untuk naskah itu”.
          Lebih sulit mana perjuanganmu itu dengan Gola Gong sipenulis  bertangan satu, atau Fahri Aziza yang seorang pengusaha dan suami yang sangat sibuk tapi ia bisa menulis puluhan novel? Katanya menulis adalah panggilan jiwamu. Tapi sekarang udah berhenti cuma gara-gara sekali ditolak.”
          “Tapi mau gimana lagi? Aku udah terlanjur kecewa”.
          “Banyak inspirasi dan motivasi yang aku dapat dari tulisan-tulisanmu, kenapa kamu sendiri sebagai penulisnya malah seperti ini? Kamu bilang jalanilah kehidupan yang kamu cintai dan cintailah kehidupan yang kamu jalani maka kamu tidak akan pernah menyesali kehidupanmu. Begitu kan yang pernah kamu tulis? Dan lagi aku masih ingat dulu kamu pernah bilang kalau menulis adalah cinta sejatimu. Kenapa sekarang malah mau meninggalkannya? Seharusnya kamu mengejarnya. Kejar sampai dapat jangan berharap cinta sejatimu itu setia menantimu menjemputnya jika kamu sendiri akan meninggalkannya”.
          “Harus dengan apa aku mengejarnya?”
          “Teruslah berlayar dengan kertas dan mendayung dengan pena. Untuk hasilnya serahkan pada Allah”.
          “Semakin keras aku berlayar,semakin remuk harapan dan mimpi-mimpiku, Fik!”
          “Tidak seperti itu, kamu itu susah banget sich dinasehatin”.
           “Ya sudah cukup diam ga’ usah susah-susah beri nasehat, karena percuma. Prinsipku, sekali aku netepin sesuatu, itu sulit untuk dirubah”.
          “Bagaimana kalau aku yang akan merubahnya?”.
          “Merubah apa?”.
          “Merubah keegoisan dan keangkuhanmu”.
          “Oh ya?...he…sebenarnya apa tujuan kamu? Teman sich teman, nasehatin sich nasehatin tapi kaya’nya ga’ perlu maksa dech?”.
          “Seandainya aku lebih dari sekedar teman, berarti aku boleh memaksa kamu?”.
          “What your point?”.
          “Iya…aku…aku suka sama kamu”.
          “Aku tahu”.
          “Aku pengen kita…kita pacaran”.
          “Itu aku baru tahu”.
          “Terus?”.
          “Apa?”.
          Sikap kepura-puraan Nayla membuat Fikri jadi salting saja. Padahal Fikri telah berjuang keras untuk mengungkapkannya. Berjuang melawan perasaannya, nyatanya hanya dihargai kurang dari sekedarnya.
          “Kamu gimana?”.
          “Gimana apanya?”.
          “Ya udah, kalau begitu aku pulang dulu”. Fikri bergerak hendak pergi. Mungkin malu dan kecewa atas sikap Nayla yang terkesan tak menghargai kejujurannya.
          “Pulang? Katanya mau pinjam buku catatan? Udah ga’ butuh?”.
          “Ga’ makasih”. Fikripun beranjak. “Aku harap kamu bisa merubah ego dan angkuhmu. Jangan suka mematikan pembicaraan ya, Nay?”. Berlalulah Fikri dengan langkah yang semakin dipercepat. Semakin dilihat, punggungnya terlihat menyiratkan kekecewaan, kesedihan dan kepedihan.
          “Fikri?!?”. Bahkan panggilan Naylapun tak bisa menghentikan langkah Fikri, bahkan hanya untuk menolehpun.
          Senja berubah petang. Angin malam membelai wajah Nayla dengan penuh kemunafikan. Bintang-bintang bertaburan menambah komplitnya perasaan. Bulan yang sedang purnama menambah nyilunya hati yang sedang mengisahkan hidup yang tertinggal antara kekecewaan dan kepedihan. Derai tangis tak bersuara mengundang simpati dari langit. Tapak-tapak kaki dengan sisa langkah hati yang terluka seolah berubah menanduskan tanah, mematikan kehidupan.  Kubah langit yang memayungi bumi berubah menjadi sebuah layar raksasa yang sedang diputar sebuah serial drama yang mengisahkan tentang 2 anak manusia yang sore tadi bergulat dengan perasaannya. Ada perasaan bersalah bersarang karena telah melukai hati sahabat karibnya. Ada pertimbangan perasaan, dan Nayla berusaha mencari ke dasar hatinya.
          Berkas-berkas cahaya gita dari senar gitar kehidupan telah menyeruak menyelinap diantara kegelapan membangunkan bumi dari tidur lelapnya. Dan layaknya biasa, Nayla menunggu Fikri di depan rumahnya untuk berangkat sekolah bersama. Karena Fikri tak kunjung datang, maka tak salah jika Nayla menerima tawaran indah temannya untuk berangkat bersama.
          Ketikapun sampai di kelas, didapati Fikri dengan khusuknya membaca, bahkan Fikri tak sadar kalau Nayla telah duduk disampingnya.
          “Aku minta maaf soal yang kemarin ya, fik?”.
          Tak ada jawaban, bahkan pandangan pun tak ada. Fikri tetap khusuk menghadapi bukunya.
          “Fik kamu dengar aku kan?” Nayla menambah volume dalam suaranya, namun Fikri tetap saja tak peduli .
          “Oh! Kamu marah ya?”.
          Tetap terdiam.
          “Fik! Kamu kenapa sich?”. Karena dongkol, Nayla segera merebut buku dari tangan Fikri dengan tujuan memperoleh perhatiannya.
          Spontan Fikri melayangkan pandangannya pada Nayla dan tanpa berkata, Fikri kembali merebut bukunya.
          “Ya sudah kalau kamu ga’ mau bicara. Aku cuma mau bilang minta maaf”. Beranjaklah Nayla berbekal kekecewaan.
          “Nay!”. Langkah Nayla terhenti ketika Fikri memegang pergelangan tangannya.
          Senyum terkembang di sisi bibir Nayla menerima respon Fikri yang seperti itu. Segera saat Nayla menoleh, selembar kertas Koran telah berada di tangan Nayla.
          “Apa ini?”. Diambilnya lalu dibacanya. Ada satu rubrik yang membuat mata Nayla enggan beralih dan di pojok kiri bawah akhir dari rubrik itu tercantum nama Nadifa Nayla An Najwa, SMA Nasional dengan judul Bukan Pahlawan Kata-kata.
          “Ini?”.
          “Cerpen yang pernah kamu beri waktu ultahku dulu, aku coba kirim dan ternyata dimuat”.
          “Oh, ya?...Fikri?…Thanks yach?”. Nayla kembali duduk.
          “Itu bukti bahwa meski naskah novelmu ditolak bukan berati tulisanmu jelek”.
          “Iya, aku tahu. Thanks yach?...Terus…sekarang kamu masih tetap marah sama aku?”.
          “Kapan aku pernah marah sama kamu?”.
          “Bener?”.
          Anggukan disertai senyuman menjadi jawaban dari Fikri.
          “Sekarang kamu lagi ga’ mood untuk mematikan pembicaraan orang lain, kan?”.
          “Kenapa?”.
          “Jangan suka menjawab pertanyaan dengan pertanyaan”.
          “Sorry. Iya!”.
          “Boleh menagih sesutau?...ya…meskipun itu bukan janji”.
          “Apa?”.
          “Jawaban kamu gimana?”.
          “Tentang?”.
          “Tentang perasaanku”.
          “Kamu butuh kejujuran dari aku?”.
          “Iya”.
          “Tapi kamu jangan marah”.
          “Ga’ akan”.
          “Sejujurnya…aku…aku juga suka sama kamu”.
          “Thanks”.
          “Tapi aku takut”.
          “Takut kenapa?”.
          “Aku takut jika nantinya aku menyakitimu. Aku takut jika kau menyakitiku. Aku takut jika aku mengecewakanmu. Aku takut jika kau mengecewakanku. Dan aku takut jika nanti kau akan pergi meninggalkanku”.
          “Sudah berapa tahun kita berteman? Apa pernah aku meninggalkanmu?”.
          Nayla hanya tertunduk dalam senyum terpaksanya.
          “Aku memang suka sama kamu, aku sayang sama kamu. Tapi kalau cinta, maaf sepertinya aku masih belum berani mengaku kalau aku cinta sama kamu. Maaf Fik”.
          “Apa karena Aras?”.
          “Jangan suka mengungkit masa lalu. Aku hanya ga’ ingin kehilangan seorang sahabat sepertimu. Kita berteman saja yach?”. Diajukannya jari kelingking Nayla.
          “Cuma teman yach?”. Fikri turut merespon aksi Nayla dengan menyalami kelingking Nayla.
          “Iya, aku akan mencintaimu sebagai seorang sahabat bukan sebagai seorang pahlawan kata-kata bagimu”.
          Cinta, sebenarnya apa itu cinta?. Begitu tabu, begitu misterius namun banyak orang mengaku memahaminya. Cinta adalah anugerah terindah yang pernah diberikan Tuhan terhadap makhluknya sebagai alat pemersatu. Cinta adalah sesuatu yang sejatinya dimiliki makhluk langit, maka tak seorangpun makhluk bumi yang bisa mengartikan secara pasti apa itu cinta. Maka tak salah jika ada yang mengatakan kalau cinta tak dapat didefinisikan. Ia tak berwujud namun mampu membuat semua orang mengakuinya. Ia tak punya senjata ataupun bala tentara tapi sanggup melumpuhkan siapapun bahkan raja sekalipun. Cinta tak punya kekuasaan namun mampu memperbudak manusia. Itulah cinta, bisa yang mematikan namun sekaligus menjadi obat. Tapi terkadang kesucian cinta harus ternoda oleh nafsu yang mendeklarasikan diri sebagai cinta. Nafsu dan cinta adalah dua hal yang jauh berbeda namun diartikan sama oleh orang yang dangkal pemahamannya tentang cinta. Tapi satu yang kan tetap terjaga jika memang itu cinta, maka ia tak akan memilih dua atau lebih untuk dicintai. Karena cinta dengan mendua kasih adalah nafsu. Sama halnya dengan keyakinan, tak boleh mengaku punya dua agama itu kafir namanya. Maka berhati-hatilah kau mengartikan cinta. Atas dasar inilah Nayla tak mau terjerumus dalam perangkap cinta, ia tak mau diperbudak hingga Nayla harus menolak Fikri meski sejatinya Nayla sendiri juga mencintai Fikri lebih dari seorang sahabat. Dan bagi Nayla itu sudah cukup. Karena Nayla bukanlah pahlawan kata-kata yang mampu mengubah jalan fikiran seseorang hanya dengan lantunan kata berlumur abjad. Nayla bukanlah sang mufasir hati yang bebas menafsir hati setiap orang. Terkadang kekuatan kata-kata tak bisa menembus logika. Terkadang pula hati harus tunduk di bawah nalar.


                             

Komentar