Media dari masa ke masa terus menunjukkan kemajuan yang sangat
pesat. Mulai dari media cetak, elektronik hingga era internet dan digital.
Tidak bisa dipungkiri, keberadaan media telah banyak berpengaruh terhadap
perubahan sosial, politik, ekonomi hingga keamanan suatu negara.
Menurut Roby Muhamad, pakar
jejaring sosial sekaligus peneliti di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,
Kelahiran media sosial pada awalnya hanya sebatas penyedia layanan
informasi, komunikasi hingga hiburan . Kemudian belakangan berkembang sebagai
instrumen mencari kesenangan, pertemanan hingga jodoh. Keberadaan media sosial tak hanya sebatas seperti blog, jejaring sosial,
dan forum online [1], kemudian
dalam demokrasi, media yang berkaitan erat dengan dunia pers secara
tidak resmi menempati sebagai posisi keempat dalam separation of power.
Dimana pers ditempatkan sebagai alat kontrol kekuasaan yang independen dan
bebas intervensi dari pihak manapun.
Dengan kebebasan yang dimiliki,
menurut Winarto, senior news producer RCTI, pers yang menunggangi media
sosial akhirnya bisa meliput dan memberitakan apapun yang dianggap mempunyai
nilai berita tanpa khawatir ada pembredelan sebagaimana terjadi pada masa Orde
Baru. Kondisi seperti ini di satu sisi sangat baik bagi pengembangan iklim
demokrasi di tanah air. Di sisi lain kalau tidak berhati-hati pers dengan
kebebasannya bisa terjebak menjadi sekadar institusi bisnis yang misi utamanya
tak lain semata-mata mencari keuntungan, mengingat pers dewasa ini telah
menjadi industri. [2]
Menurut Indotelko
(26/05/2013), kegiatan media dalam industri pada
2012, belanja iklan mencapai Rp
107 triliun, sekitar 66% dari belanja iklan itu diserap media tradisional
yakni 30% media cetak, dan sisanya adalah iklan radio dan iklan digital.
Pada 2013, diprediksi total belanja iklan secara industri tahun ini mencapai Rp
124 triliun. Hal ini membuktikan hebatnya kekuatan media untuk menyokong
pekonomian. [3]
Di lain sisi perekonomian dan
pers, media yang sudah merasuk ke dalam tiap sendi-sendi masyarakat, turut pula
menjadi perhatian kaum bersarung, santri. Sepanjang sejarahnya, pesantren telah
meneguhkan dirinya sebagai bangunan dasar dari sistem pendidikan islam di
Indonesia yang berorientasi pada pengembangan pengetahuan sosial keagamaan dan
pembentukan nilai dan perilaku yang khas bagi kebajikan publik. Pesantren
menjadi kekuatan transformasi sosial yang penting dalam masyarakat. Pilar pokok
pendidikan pesantren ini adalah konstruksi pesantren sebagai sub kultur (Wahid,
2001).
Kemudian, dalam konteks pendidikan publik dan
artikulasi peran sosialnya, pesantren dihadapkan pada tuntutan pembaharuan
strategi terhadap kehadiran media sosial untuk mampu menjaga sekaligus mengkontekstualisasikan
nilai-nilai dalam tradisi pesantren dalam merespon nilai-nilai baru. Berangkat
dari sini, media diharapkan menjadi lokomotif fungsi edukasi bagi pesantren dan
publik.
Respon pesantren relatif beragam terhadap media sosial yang tersedia
bebas dan beragam di internet itu, dari mulai cenderung menutup diri sampai
dengan aktif melibatkan diri dalam tantangan dunia baru. Namun, sepanjang
terkait dengan aspek kebijakan pendidikan santri, tingkat manfaat dan madharat
dari media sosial dan informasi akan selalu dilihat lebih dulu. Dan dalam
konteks yang lebih luas, arus informasi yang memang tidak terhindarkan,
membutuhkan respon pengawasan aktif pesantren terhadap media bagi pendidikan
publik. Fatwa haram PBNU tentang infotainment yang memuat unsur ghibah (gosip,
menggunjing) adalah salah satu contoh respon kritis kalangan pesantren terhadap
nilai-nilai negatif yang diusung media.[4]
Secara umum, tradisi pesantren sebenarnya
terbuka terhadap media dan informasi baru. Kaidah fiqh al-muhafadzatu ‘ala
al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara nilai
lama yang baik, serta mengambil nilai baru yang lebih baik) adalah contoh
keterbukaan pesantren terhadap hal-hal baru. Pendapat umum para ulama fiqh
(jumhur ulama) juga sepakat menyatakan bahwa internet bersifat netral, dapat
halal dan dapat juga haram, tergantung untuk apa dan bagaimana teknologi ini
digunakan.(Ls)
[1]http://tekno.kompas.com/read/2012/03/20/11355321/Media.Sosial.Masih.Dikuasai.Media.Mainstream, diakses pada 10/06/2013
[2]http://grahamediaschool.com/etika-jurnalistik-di-era-kebebasan-pers/, diakses pada 10/06/2013
[3]http://www.indotelko.com/kanal?c=id&it=Penguasa-Membangkitkan-Iklan-Digital, diakses pada 10/06/2013
[4]http://centreforlead.org/membangun-pengawasan-media-oleh-pesantren/CentreForLEAD.html, diakses pada tanggal 11/06/2013
Komentar
Posting Komentar