“Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu” _Andrea Hirata.
“Setiap pria dan wanita sukses
adalah pemimpi-pemimpi besar. Mereka berimajinasi tentang masa depan mereka,
berbuat sebaik mungkin dalam setiap hal, dan bekerja setiap hari menuju visi
jauh ke depan yang menjadi tujuan mereka”_Brian Tracy.
£¤§
£¤§
Salam
rindu pada mimpiku yang tergantung diatap langit sana.....
Wahai
Mimpiku,
Dari
sebuah kehidupan tanpa makna kau menuntunku untuk melangkah melihat keindahan, keindahan
pada kata-kata. Keindahan pada selaput riang dari sebuah sukses. Sebuah
kebenaran yang jauh lebih berarti dari kebenaran itu sendiri.
Salam
sayang dari pengagum rahasiamu wahai, mimpiku.....
Kelak
izinkan aku menjabat tanganmu untuk bermain dan tertawa bersama. Kelak izinkan
aku untuk menatap rupawannya wajahmu dengan segenap senyum riang dalam ruah
bahagiaku. Kelak aku ingin menghabiskan masa tuaku denganmu, karena aku yakin
kau lebih berjodoh dari pada jodohku.
£¤§
£¤§
Let Me Introduce
my Self
Inilah aku, sama sekali tak pernah berani untuk menggantungkan
cita-cita di atap langit, hanya berani bermimpi saja. Karena aku tahu ketika
cita-cita itu aku bawa kepangkuan ibunda tercinta yang muncul hanyalah
bagaimana untuk hidup di hari esok dan bisa memenuhi tuntutan perut. Masa kecil
yang seperti itu membawa babak baru dalam pembentukan karakter berani bekerja
keras demi bertahan hidup.
Dan ketika beranjak SMP aku masih ingat nasihat salah seorang
guruku, “Yang diwariskan Rasul bukanlah dinar atau dirham, tapi ilmu”. Masih
melekat dalam ingatan tentang cerita inspiratif membakar semangat yang sering
beliau kobarkan di tengah pelajaran. Cerita beliau bersama ayahnya yang setiap
harinya masih harus membeli ikan dari tengkulak untuk akhirnya di antarkan pada
ibunya yang bersiap di pasar untuk menjualnya, dari situlah beliau menjadapat
uang saku. Mungkin semangat beliau itulah yang menginfeksi, membawaku untuk memompa semangat terus bermimpi, karena tak
butuh kekayaan materi untuk bermimpi hidup lebih layak dengan memperkaya ilmu.
Sama sekali aku
bukanlah keturunan orang berpendidikan, ibuku ummiy, ayahku cuma sekolah
sampai kelas 3 SR, sedang kakak-kakakku paling banter sampai SMP, itupun
terbuka. Jadi tak salah ketika aku, si bungsu berhasil masuk SMPN 1 Kalisat, kebanggan
membahana. Kadang merasa malu bergaul dengan mereka karena aku bukanlah orang
kaya. Ditambah lagi perasaan ketar-ketir selalu siap menghantuiku, akankah
riwayat pendidikanku berlanjut. Maka dari itu aku tak pernah berani mengumandangkan
cita-cita layaknya anak-anak lain yang begitu mudahnya bilang “Cita-citaku
ingin jadi dokter”, “Aku ingin menjadi pilot”, dsb. Aku masih tak berani,
padahal bercita-cita saja tak usah bayar, kan ? . Mimpi yang mampu aku
kumandangkan kala itu hanyalah berharap setelah usai SMP dapat melanjutkannya
lagi, tidak lebih.
PDKT, Mengenal Lebih Dalam
Problema
pertunangan paksaan sempat hampir memutus keinginanku untuk melanjutkan sekolah,
untunglah saat itu keangkuhanku muncul. Dan akhirnya sampailah kakiku menginjak
tanah Pondok Pesantren Nurul Qarnain. Sebuah keputusan yang sangat tepat dari
ayahku ketika memilihkan aku pendidikan pondok pesantren. Di sana, hidup yang
awalnya hanya aku jalani untuk sekedar bertahan saja, mulailah aku dikenalkan
arti kehidupan yang sesungguhnya. Bahwa hidup itu tak hanya diwarnai satu warna
saja. Tak harus dikomandoi ingin saja, tapi juga harus di kawal oleh moral.
Di pesantren aku mengenal yang namanya “Man jadda wa jada”,
siapa cepat dia dapat. Siapa yang mau lebih dulu memulai dan bekerja lebih
keras dari siapapun, berfikir lebih cepat dari orang biasanya, bekerja sebelum
orang lain bekerja, beraktivitas lebih lama dari orang lain, mengurangi jam santainya, menyedikitkan waktu
tidurnya, dialah yang akan menjadi pemenangnya. Itulah modal absolut untuk
meraih mimpi, kemenangan dan kesuksesan yang tergantung di atap langit, yang
selalu menunggu siapa yang berhasil menjemputnya. Dan sekalinyapun usaha keras
itu gagal, sejatinya tak ada kesia-siaan terhadap kegagalan, karena gagalpun
masih menyimpan pengetahuannya, bahwa dengan gagal ini yang harus di benahi,
itu yang harus di tingkatkan. Karena sejatinya sukses tak pernah tunggal tanpa
kegagalan.
Akhirnya Aku Jatuh Cinta
Hidup dan perjuangan menjadi sangat kental, setiap hari berkutat
dengan kitab klasik berhuruf arab yang di dalamnya kaya akan ilmu dan budi.
Mengajarkan kedamaian hidup padaku. Mengajarkan arti sebuah penerimaan terhadap
keikhlasan.
Di pesantren
pulalah aku bermetamorfosis menjadi manusia yang peduli pada keaadaan sekitar, tidak
apatis dan berkutat dengan egosentrisme. Pun pula belajar mempengaruhi orang
lain lewat organisasi intranya. Menyuarakan pemikiran yang dianugrahkan oleh
Sang Maha Pemikir lewat tulisan-tulisan ilmiah berlandaskan naqliyah yang
tercurahkan pada buletin, mading dan lainnya. Sungguh mengagumkan massa-massa
kehidupan humanis di pesantren jika mengenangnya. Mengajarkanku pada moralitas
dan pengabdian pada Tuhanku, Allah Azza wa Jall. Mengajarkanku arti mahabbah
ilallah.
Bertengkar dengan Masalah
Masalah itu tak
pernah berhenti untuk membiarkan manusia tenang dalam hidupnya. Yah, kesenanganku menuruti hati dalam ketenangannya
harus terganggu dengan kendala yang sejak kecil aku takutkan. Usai UN, orang
tuaku terpaksa dalam keterus terangannya, tentangku yang harus bersiap hengkang
dari pesantren. Yah, masih masalah yang sama tentang keterbatasan finansial.
Mungkin aku juga yang kurang ajar, bersenang-senang di pesantren,
sedang orang tuaku harus kerja keras untuk mencukupi kebutuhanku. Seperti halnya ibuku yang tetap bekerja di
sawah orang meski hujan deras, meski telunjuknya terus saja mengalirkan darah, meski
tumor di perutnya terus tumbuh hingga 12 kg, ia tak peduli. Asal ia dapat
mengirimi anak perempuannya uang yang cukup di Pondok Pesantren Nurul Qarnain
untuk menyerap ilmu agama. Sedang aku ? menghamburkannya begitu saja dengan
enaknya di pesantren.
Dan salah satu perjuangan terbesar dalam hidupku adalah Ujian PBSB
2011 yang diselenggarakan di Asrama Haji Sukolilo tanggal 04 Mei yang aku ikuti
bersama Dyah dan Ticka, teman sekelasku juga, kala itu ujian PBSB harus aku capai setelah
beberapa kejadian yang membawaku pada tangis.
Senin sore, 02 mei 2011. Sehari menjelang keberangkatan kami menuju
Surabaya. Perasaanku terpukul sebab perkataan seorang yang kufikir akan menjadi
semangatku. Seorang yang mengaku benalu yang telah kering termakan zaman, yang
memintaku untuk menyudahi segala perasaan senangku pada sang hati....hufht !
Ditambah lagi aku masih harus melihat ayah tercinta terbaring dalam
sakitnya. Wajahnya pucat dengan tinggal tulang berlapis kulit saja, pipi dan
matanya terlihat cekung, giginya yang sudah mulai rontok semakin membentuk
kombinasi ironi yang siapa saja melihat pastilah iba, membuat air mata mengalir
begitu saja.
Namun hidup harus tetap berlanjut. Berbekal nasihat amalan shalawat
nariyah sebanyak 4.444 kali dan basmalah 3.000 kali dari Ustadz Nawi serta do’a laskar NQ yang kami padu belajar keras
ba’da UN, kami berangkat menuju medan pertempuran. Dari situlah kami mencoba
mengumandangkan niat tulus kami untuk mencari jalan dapat mengecap bangku
kuliah.
Ujian kami tempuh dari jam 07.00-16.15 yang cukup melelahkan. Tapi
sekali lagi yang namanya perjuangan pasti melelahkan. Tapi tak mengapa, karena
setelah lelah yang kadang terasa menyebalkan, aku yakin akan ada senyum manis
akan kepuasan hasil di akhir. Dan hasil yang manis itu benar-benar aku harapkan
sebagai kado terindah di hari ulang tahunku, 06 mei 2011.
Cetar Membahana !
25 Mei 2011 ba’da maghrib, Pak Imam Syafi’i, kepala sekolah yang
sekaligus ahlul bait memanggilku. Kubenakamkan diri dalam sujud syukur sebab dawuh beliau
aku lolos ujian PBSB. Sedang kedua temanku masih harus mencari jalan lain untuk
meneruskan pendidikannnya, tidak di PBSB.
Dan inilah mimpi yang sangat indah, namun nyata. Seorang santri
yang ketakutan akan berhenti meraup ilmu di pesantren atau yang paling parah
adalah terjebak dalam pernikahan dini, kini mendapat kesempatan memperpanjang
massa produktifnya memungut bulir ilmu di Fakultas Farmasi Universitas
Airlangga. Sebuah kemenangan yang bukan hanya aku merasakannya, terlebih pihak
sekolah dan pesantren yang belum pernah mendapati santrinya mendapat beasiswa
itu.. Tak ada kesia-siaan rasanya aku bernadzar puasa Daud selama 3 bulan
karenanya.
Satu hal yang membuatku merasa sangat diperhatikan bahkan menjadi
bintang saat tasyakuran kelulusan sekaligus penyerahan ijazah, di balik ketidak
tahuanku fotoku dipajang dalam banner tidak lebih dari dua meter. Meski kurasa
itu berlebihan, tapi haruslah difahami bahwa mereka bilang itu wujud kesyukuran
pihak sekolah dan pesantren. Dan berita itupun tak hanya menjadi konsumsi
lingkungan pesantren saja.
Terseok Diantara Pusaran Duka
03 juli 2011 aku kembali menginjakkan kaki di tanah Surabaya untuk
mengikuti tes masuk UNAIR jalur PMDK/Mandiri sebagai salah satu syarat masuknya
aku di Universitas Airlangga. Kali inipun aku berangkat membawa airmata, bukan
tanpa sebab. Sekitar ba’da isya’
tertanggal 28 Juni 2011, ayahanda tercinta berpulang kerahmatullah.
Jatuhnya airmata bukan karena aku berstatus anak yatim, bukan
karena tak ada sesosok laki-laki itu yang bisa kupanggil ayah lagi. Kantong
airmata ini tertusuk karena aku tak berada disampingnya sesaat sebelum ia
menjalani sakratul mautnya. Dan ternyata, seongkok tulang yang hanya tinggal
berlapis kulit, yang sering kupanggil ayah telah menutup mata mengakhiri
nafasnya. Hanya lantunan surah Yasin yang ku bacakan di sampingnya berteman
uraian airmata. Memeluk tubuh yang sudah tak bernyawa itu sungguh menyakitkan.
Dan hasil ujiannya berbanding lurus dengan kesedihan atas
kehilanganku. “Tak bisa dibayangkan bagaimana malunya” ucap Pak Imam. Aku faham
bagaimana kekecewaan pihak sekolah. Terlebih atas segala yang sudah pihak
sekolah berikan padaku. Mulai dari biaya transportasi, penginapan dan
administrasi pendaftaranpun semuanya di tanggung oleh sekolah. Dan ternyata
hasil yang aku berikan sangat mengecewakan.
Kembali Tersenyum J
Perasaan bersalah itu ternyata masih diizinkan untuk aku tebus.
Allah kembali memberiku kesempatan di ujian PMDK/Mandiri II. Kembali aku hadapi
kumpulan soal yang sempat aku tinggal untuk mendalami perasaan kecewa dan sedihku
sebelumnya. Aku melihat bulir-bulir harapan yang begitu bersinar di mata Pak
Imam dan staf guru lainnya, Pak Jamal, Pak Yusron, Bu Rini dan semua yang telah
berkorban lebih mengusahakan pendidikanku. Maka aku tak boleh gagal lagi kali
ini.
Inilah sebuah kebangkitan si katak dalam tempurung yang ingin berkata pada dunia bahwa
kesuksesan itu bukan milik orang pintar, bukan milik orang cerdas, pun bukan
milik orang kaya, tapi milik mereka yang mau berusaha lebih keras dari
siapapun. Tak peduli takdir telah menusuk dan mencincangnya berapa kalipun, tak
peduli seberapa banyak ia terjatuh. Asal
setelah jatuh ia terbangun, asal setelah hancur ia menata hati kembali. Asal
setelah menangis segera ia hapus airmatanya. Meski ia berkata itu sulit.
Setidaknya ia tetap selalu mencoba untuk bangkit dan bersabar atas kegagalan,
karena sejatinya sukses itu tidak tunggal tanpa diikuti kegagalan.
“Hanya mereka yang berani gagal
dapat meraih keberhasilan” (Robert F. Kennedy)
“Kegagalan
tidak diukur dari apa yang telah engkau raih, namun kegagalan yang telah engkau
hadapi, dan keberanian yang membuat engkau tetap berjuang melawan rintangan
yang bertubi-tubi” (Orison Swett Marden)
Aku bersama kebahagiaan diizinkan mengecap bangku kuliah oleh Sang
Maha Penentu Takdir. Begitu besar nikmat-Nnya. Aku diterima PBSB. Perjuangan
yang sungguh berbuah manis. Jika waktu itu aku sudah menyerah, apa mungkin
sekarang aku berada di Surabaya, memungut ilmu satu persatu di ranah Bumi Timur
Jawa Dwipa, menjadi ksatria Airlangga, bercerita pada kalian tentang sedikit
kisah hidup yang terukir dalam celah-celah hari yang pernah aku arungi.
Sedikit perjuangan menuju kejayaan di masa depan. Jangan pernah ucapkan selamat tinggal jika masih ingin mencoba. Saat kamu
terjatuh, tersenyumlah. Karena orang yang pernah jatuh adalah orang yang sedang
berjalan menuju keberhasilan.
Say Good Bye, Say Hi
Hidup ini kita yang
menjalani, lakukan apapun yang ingin kita lakukan, tapi pastikan itu sebuah
cerita yang kelak pantas tuk diceritakan. Menjadi seulas kisah dalam sejarah
perjuangan manusia yang pantas untuk di kenang. Dan keberhasilan ini aku
persembahkan pada yang selalu setia membantu, menyemangati dan mendukungku.
Untuk kedua orang tuaku, terutama ayah yang semoga tenang di alam barzah sana.
Semoga aku tidak mengecewakanmu, ayah. Untuk ibu, aku sudah berusaha untuk
tidak merepotkanmu lagi, maaf jika harus meninggalkanmu di rumah sendiri. Untuk
MANQ dan pesantrenku, NQ terimakasih. Aku berjanji untuk melakukan yang terbaik
yang bisa aku beri. Terimakasih.
Full of Go.....!!!
Dan
perjuangan takkan pernah usai selama kita membutuhkan oksigen untuk bernafas.
Dan selama kehidupan seorang yang mengaku hamba masih terus mengusahakan bakti
tulusnya pada Sang Kholik. Selama itu, aku masih akan terus berjuang di
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, karena sejatinya perjuanganku masih
baru saja dimulai di tempat yang baru ini. Di sini, di Surabaya, di tempat yang
baru, akan ada kisah baru, bertemu dengan orang baru, bertemu dengan keluarga
baru dan pastinya suasana yang baru, suasana yang penuh akan perjuangan yang
menyenangkan.
Memang
dunia kampus adalah hal yang baru bagiku. Sangat berbeda dengan pesantren.
Lebih beragam dan begitu kontras dengan kehidupan santri yang dilatih dengan
kesederhanaan dan apa adanya. Tapi sekali lagi hidup itu tak hanya untuk satu
warna saja, semakin banyak pengalaman akan memberi banyak warna menawan pada
hidup kita.
Di
sini, di kampus para santri digodok untuk mengembangkan akademik dan
intelegensinya di bidang keilmuan, setelah sebelumnya telah nyata pematangan
moralitas dan aqidahnya di pesantren. Karena memang begitulah adagiumnya,
jadilah santri yang intelek, bukan cerdas baru intelek. Dan santri sudah lebih
dulu intelek akan moralitas dan kesadaran kedudukan dirinya dimata Tuhannya,
dimata masyarakat dan dimata dirinya sendiri.
Di
farmasi ini, banyak hal yang berhasil menyihirku, berdecak kagum atas kuasa
Allah. Nyatalah janji Allah, bahwa tiada hal yang tercipta di dunia ini tanpa
ada manfaatnya. Sederhananya saja bumbu dapur seperti bawang putih untuk
menurunkan kolsterol, kencur untuk obat batuk, diaforetik, roboransia, dan
analgetik, dan masih banyak yang lainnya. Jika ilmu ini dibawa pada masyarakat
awam, dikembangkan minimal berupa kebun kecil berupa tanaman obat rumah tangga,
disosialisasikan dan dibiasakan pada budaya sadar kesehatan, bukan menjadi
tidak mungkin akan melahirkan Indonesia yang kesadaran kesehatanya tinggi.
Dan
bukan hal yang tidak mungkin pula jika potensi kaum santri terus digiatkan
kelak akan menjadi kekuatan besar untuk merubah Indonesia menjadi lebih baik
lagi di masa depan. Mampu membebaskan Indonesia dari masalah klasiknya seperti
halnya KKN. Karena bukan jiwa santri untuk mencolong uang rakyat, meski dia
sendiri termasuk rakyat. Bukan jiwa santri yang suka menghambur-hamburkan hal
berharga termasuk materi apalagi waktu untuk hal yang mubadzir, karena jiwa
santri yang sesungguhnya adalah berfikir produktif, berperadaban dan menjaga
kontrol akhlaqnya. Dan wujud Indonesia yang humanis dan harmonis bukan lagi
sekedar wacana dan mimpi. Karena sejak di pesantrenlah santri menghabiskan
waktu produktifnya.
Dari
pesantrenlah santri mengenal arti penting di balik mengapa dia harus
memperjuangkan hidupnya dengan bernafaskan panji-panji islam yang pesantren.
Dan aku mulai tersadar bahwa sangat dekatnya santri untuk menciptakan kehidupan
yang humanis dan harmonis. Bukan dikendalikan oleh sistem yang seolah hanya
peduli pada kualitas intelektualitas tanpa memperdulikan karakter yang harus
dijaga untuk membalut intelek itu sendiri. Karena rumus sukses santri adalah
menTuhankan Tuhan dan memanusiakan manusia. Dari situlah santri punya reminder
tentang siapa dirinya di dunia, di hadapan Tuhannya ataupun dihadapan dirinya
sendiri. Diharapkan mampu menemukan kembali identitas dan jati diri bangsa ini,
bukan terpenjara dalam perilaku pragmatis dan formalistik yang terbalut dalam pop
culture-nya hingga menjadikan negara ini multiproblem dan terjebak dekadensi
moral, tersesat meneladani bangsa lain yang lebih maju dalam hal akulturalistik
dan mempertuhankan nafsu. Tapi kembali pada identitas sebenarnya yaitu jiwa
Pancasila yang sejak dahulu menjadi jantung, denyut nadi bangsa Indonesia.
Hidup adalah sebuah tantangan, maka
hadapilah. Hidup adalah sebuah nyanyian, maka nyanyikanlah. Hidup adalah sebuah
mimpi, maka sadarilah. Hidup adalah sebuah permainan, maka mainkanlah. Hidup
adalah cinta, maka nikmatilah (Bhagawan Sri Sthya Sai Baba)
Kamis, 29
Nopember 2012, 18.27
Muhliseh
Fakultas
Farmasi Universitas Airlangga Angkatan 2011
Komentar
Posting Komentar