#coretan file 4 thn y lalu...Exist
Aku adalah manusia paling malang di
bumi ini, ku fikir. Tapi, kurasa tidak juga. Masih banyak diluar sana yang
lebih tidak beruntung dari aku. Tapi aku tak mau memikirkan mereka. Karena aku
sendiri tak mampu menahan diri dari jeruji kasat mata ini. Usiaku sudah 17
tahun, tapi tak pernah sedikitpun aku diizinkan untuk menentukan jalan hidupku
sendiri.
Sejak lahir takdirku sudah
diskenario oleh ayahku, aku dididik untuk menjadi orang yang keras hatinya agar
aku mampu meneruskan cita-cita ayahku untuk menjadi seorang polisi, padahal aku
wanita. Aku diperlakukan tak ada bedanya dengan laki-laki. Tapi, mau bagaimana
lagi?, tak ada yang bisa menolongku, ibuku telah tiada, bahkan aku tak sempat
menerima pelukan hangat seorang ibu saat pertama kali aku di tunjukkan dunia.
Kebencian yang selama ini
terpenjara di benakku, tak bisa kubebaskan. Aku sendiri tahu, ayahku tidak
berhasil menjadi seorang polisi. Dia gagal , lalu kenapa dia harus mendikte
aku? Demi obsesi ayahku itu, Aku harus mengubur dalam-dalam impianku untuk
menjadi seorang penulis. Kecintaanku terhadap sastra dan syair hanya bisa aku
curahkan ditengah malam yang gelap gulita saat kedua mata ayahku terpejam.
Sejuta sajak telah ku tulis, beribu kisah telah usai kuciptakan dengan komputer
bobrok yang kadang-kadang suka ngadat tak kenal sikon. Aku ingin menjadi
penulis novel, tapi ayahku melarangku.
Malam ini aku hanya bisa menatap
langit yang bermuram durja sebab bintang tak datang. Seperti halnya diriku yang
harus melewati hari ini tanpa komputer ditanganku. Ayahku tahu tentang aku yang
diam-diam mengirim puisi dan cerpen ke majalah-majalah kota. Tentang aku yang
sebentar lagi akan menerbitkan novel pertamaku. Komputer dirampas, sama sekali
tak boleh menyentuhnya. Padahal semua tulisanku ada disana, bagaimana mungkin
aku bisa melihat novel pertamaku yang berjudul “KEHIDUPAN BERSEGI IMPIAN” itu
terpajang di rak-rak toko buku, jika semua berada ditangan ayahku?
Aku tak bisa lagi menahan diri,
takdirku menjadi polwan adalah takdir yang ayah buat, Tapi tidak untukku.
Takdirku adalah menjadi seorang penulis dan aku harus mewujudkannya.
Kali ini ada sesosok keberanian
yang berlahan muncul, mencuat menerobos jeruji yang selama ini ayah ciptakan.
Aku tak mau menuruti ayahku, aku harus menjadi diriku sendiri. Masa depanku
adalah milikku, bukan milik ayahku.
’’ Aku harus pergi dari sini “
itulah kata-kata yang terus menghujaniku. Aku beranjak mengambil flashdisk yang
sempat aku sembunyikan ditumpukan baju di lemari. Untung aku sempat menyalin
semua data dikomputer yang ayah sita. Jam menunjukkan pukul satu dini hari.
Tekadku kian bulat untuk kabur. Dengan senyum sejuta kebahagiaan aku melangkah
menuju pintu belakang rumah. Tapi senyuman itu, ternyata terlalu dini untuk
kukembangkan..........
“Sedang apa kamu disini?” suara berat
nan terdengar sangar itu seketika menghentikan langkahku. Aku kenal betul suara
itu.
“Ayah?” ucapku lirih bercampur
terkejut. Seperti maling yang tertangkap basah.
“Sudah ayah
bilang..............buang jauh-jauh keinginanmu untuk menjadi penyair sampah,
ngerti???” rupanya ia tahu rencanaku.
“Sudah cukup lama selama ini ayah
mengatur ERGI, Ergi juga punya keinginan sendiri ayah.” Terpaksa aku
harus menghadapinya.
“oh...mau membantah ya..???”
“Ergi cape` selama ini
terus-terusan ayah atur. Ergi bukan boneka yah, Ergi masih punya perasaan dan
mimpi yang ingin Ergi kejar. Ergi tersiksa. Setiap hari dituntut untuk menuruti
obsesi yang ayah sendiri gagal itu.”
PLASSSSS!!! sebuah tamparan dasyat
dihadiahkan padaku.
“Dasar tidak tahu diuntung, kamu
fikir kamu tuh siapa hah...?, kamu Cuma bayi sialan yang aku temukan di tong
sampah yang dulu dibuang. kamu tidak diinginkan oleh orang tuamu. Seharusnya
kamu berterimakasih kepadaku yang telah merawatmu. Dan sebagai bayarannya kamu
harus nurut. Itulah harga yang harus kamu bayar, bukan malah membangkang,”
Benarkah itu,,,??? Bayi buangan?
Kenapa aku baru tahu sekarang? Hah,,,! Aku sampah yang dibuang orang tuaku?
Kenapa kejam sekali takdir yang menyapaku? Setelah seperti ini apakah masih
berharga impian itu? .Tak ada yang menjawab. Hanya tangis yang menyeruak
meleleh dari mataku. Apa aku memang tak diizinkan meraih impianku?,,,,
Tidak, impian itu masih tetap berharga dan aku harus tetap
pada tekadku untuk meraihnya. Ku keraskan hatiku. Ku kumpulkan segala tekadku
yang tadi hampir sirna.
“ok!
Terima kasih atas kebaikanmu selama ini”
Ku teruskan langkahku, ku
banting pintu keras – keras, meninggalkan ia yang kini bukan lagi ayahku.
“mau kemana kamu?” Pekiknya.
“anda bukan ayahku kan?, jadi anda tidak berhak lagi mengatur
hidupku...maaf aku mau mencari
hidupku sendiri.”
Aku
terus saja melangkah jauh ingin pergi meraih kebebasanku. Aku tak peduli dengan
sumpah serapah yang terdengar begitu memekakkan telinga yang terus saja dari
tadi ia lontarkan. Biarkan saja ia dengan kemarahannya. Sementara aku, sekarang
ini ingin mencari siapa orang tuaku sebenarnya. Aku yakin mereka lebih baik
dari pada dia.
Langkah
terus ku ayunkan, entah kemana kaki akan membawaku. Aku benar – benar tak punya
tujuan. Inilah kelemahan tindakan yang tanpa rencana matang, cuma menuruti ego.
Sekarang dengan koper barang – barangku dan
flashdisk ditanganku, harus kemana aku ini?
Tiba – tiba alam seperti memusuhiku.
Dinginnya angin malam terasa meremukkan tulangku. Jaket yang ku kenakan tak
mampu melindungiku. Tak cukup sampai disitu, kemudian hujan lebat mengguyurku.
Aku bertambah menggigil dan berteduh dibawah pohon sepertinya sama sekali tak
membantu.
Aku
sendiri ditengah malam yang buta ini menerjang badai, mungkin pula takdir
mengisahkanku untuk selalu sendiri?,,,,,lama. Hujan tak juga reda, semakin
kandas asaku.
“ergi!, ngapain kamu malam – malam gini disini?”
Sepotong suara menyapaku.
Suara itu keluar dari mobil hitam yang terhenti didepanku.
“nevan?”Ku coba kenali ia, ternyata dia teman sekelasku. Dia
selalu bersikap baik padaku, tapi aku selalu mengacuhkannya.
“udah jam segini ngapain kamu dijalan?, hujan – hujanan
lagi.”
Nevan turun dari mobilnya dan
menadahkan payung kearahku.
“bukan urusan kamu.”
Aku masih tetap
mengacuhkannya.
“kamu kabur ya,,,?”
Aku
tak menjawab. Nevan kemudian memaksaku untuk ikut kerumahnya. Ku fikir, dari
pada aku mati kedinginan, bukankah lebih baik aku terima ajakannya?, tidak baik
menolak niat baik seseorang.
Tapi
ternyata dugaanku salah,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Begitu
sampai di rumahnya aku langsung mengeringkan diri dan hendak merebahkan diri,
karena sudah terlalu letih tubuh ini. Begitu mataku hampir terlelap, ku dengar
seseorang membuka pintu lalu menguncinya. Aku terperanjat. Ku lihat di depanku
tengah berdiri seorang nevan dengan memegang sebilah pisau.
“bedebah, kau nevan!”
Aku merangsek, brusaha
menghindar. Nevan seperti kesurupan. Begitu gigih ia mengincar nyawaku.
Kurang ajar!, aku salah menilainya. Aku lupa kalau ayahku
pernah dituduh membunuh ibunya nevan. Aku kelabakan menerima serangan
nevan.maka dari itu, tanpa fikir panjang aku lompat dari balkon padahal kamar
ini ada di lantai 2. Aku tidak peduli karena nyawaku kini terancam.
Untungnya tidak terlalu tinggi. Tapi pastilah kurasakan
sakit. Mungkin pula tulang kakiku retak, karena kurasakan sakit. Tapi, aku
harus keluar dari sini. Aku tak mau nyawaku melayang. Aku mencoba berlari dari
kesakitan ini.
Ternyata hidup benar – benar kejam. Bukan aku pelakunya, tapi
aku turut merasakan getahnya. Sebenarnya manusia macam apa penghuni bumi ini?,
ada yang begitu kejam seperti ayahku, tapi setidaknya ia bersedia untuk
menghidupiku. Dari pada nevan yang selalu bersikap baik, ternyata hendak
membunuhku. Benar – benar tidak bisa dipercaya. Lalu orang yang seperti apa
yang bisa ku percaya?, apa mungkin orang tuaku yang membuangku juga tak bisa
diharapkan seperti mereka?, kalau seperti ini aku ingin hidup sendiri saja.
Komentar
Posting Komentar