Sepotong Kisahku
aku dan teman-teman OSIS putri
kisah
kehidupan labil semasa MA terulang kembali dalam alam memoriku saat membaca
peninggalan tertulis, diary. ingin kuceritakan lagi. Ingin aku kupas. Ingin aku
mengomentari ke-alay-an dan
kekanak-kanakan yang berusaha di bungkus kedewasaan agar terlihat sok
keren dan gaul. Haha……
Dimulai
dengan kebosanan dan monotonitas keseharian yang berlangsung begitu-begitu saja.
Yang sebenarnya jika diurai sekian
runtut, tak begitu terlihat sebegitu monotonnya. Tapi yang namanya parameter
ABG labil yang maunya mengikuti kata hati untuk bersenang-senang, ketika
situasi dan kondisi tak mendukung, segalanya terasa hitam putih melepas
kelunturan warnanya.
Masa-masa itu seharusnya aku habiskan dengan banyak
bekerja keras, berproses sekian rupa hingga membentuk pribadi yang kuat. Bukan
hanya memandang kekurangan diri, mengeluh, menangis, menyendiri, bersedih,
menyalahkan diri, baru setelah puas, kesalahan dilimpahkan pada keadaan,
lingkungan, sistim yang mengurung ruang lingkupku, atau siapapun atau apapun
yang bisa aku jadikan kambing hitam sebagai pembenaran alasan dan menyalahkan
yang disalahkan. Huft. Ego kaum ABG…. Haha… padahal yang sebenarnya terjadi
adalah aku yang membatasi diriku sendiri.
Kisah asmara, lawan jenis, keambiguan cinta suka dan
kagum yang bercampur jadi satu tanpa pembeda. Pukul rata. Semuanya menjadi
topik yang seakan tiada pernah out of date yang selalu asyik dijadikan
bahan ghibah yang mantap. Ada si dia yang lirik dikit, titip-titipan
salam atau sekedar bertanya nama saja sudah heboh sendiri menyangka-nyangka
bahwa si dia itu suka, naksir, dan lain sebagainya. Hmm….. perspektif
individualis yang menyangka dirinya sendiri benar. Padahal belum tentu begitu
nyatanya. Tapi ketika orang yang dikagumi menyatakan perasaannya, serasa ia
menganugrahkan sayap untuk merasakan indahnya langit. Terbang menjauhi daratan.
Bahkan hingga lupa diri bahwa ia anak bumi, bukan manusia langit. Tapi kisah
cinta yang terlahir atau berseting di pesantren itu lucu. Meski hanya sekedar
melihat dari kejauhan saja sudah senangnya selangit. Memang begitu
karakteristik dan uniknya kisah cinta di pesantren. Buaian perasaan yang di
anggap cinta itu kadang mendadak membuat si pecinta menjadi penyair mendadak,
puitis, melan kolis, sensitif bahkan sok kepoin si dia. Hehe…. J
laskar NQ (teman seperjuangan di I'dadiyah)
Warna lain yang tak jauh beda dengan lembaga pendidikan
lainnya adalah ketika hari-hari imtihan atau ada’ ratusan bait alfiyah.
Segala ketakutan menumpuk. Segala prasangka datang. Akankah aku lulus, akankah
aku bisa, akankah aku masuk i’dad atau ma’had aly ???? aku masih ingat saat ada’ kita Ijaz atau
jurumiyah. Berhari-hari sebelum hari penentu, kemanapun yang dibawa
adalah lembaran lepasan kitab. Komat-kamit menghafal dan meengingat alamatul
i’rab-nya, kedudukannya, aqoidahnya dan lain ssebagainya. Dan menjadi suatu
ketenangan tersendiri saat berhasil menyelesaikannya dengan baik dan naik
tingkat. Kadang pula merasa kasihan pada teman seperjuangan yang tak lulus dan harus
tertinggal di tempat.
“Hidup adalah kompetisi, kompetisi ada untuk dimenangkan. Dan
kompetisi itu dimulai dari sekarang”, begitu salah satu redaksi diary-ku,
10 oktober 2009. Kadang aku begitu menggebu hingga tak tahu seberapa besar
adrenalinku terpacu ketika melihat santri lain berprestasi. Aku ingin seperti
mereka, bahkan harus lebih. Aku ingin mejadi no satu. Mengapa ? ada dua cara
untuk menjadi perhatian orang dan dikenal. Prinsipnya kholit tu’rof,
berbeda dari yang lain. Berbeda ini masih memiliki dua terjemahan. Berbeda
karena berasal dari penyebab yang negatif, atau karena prestasi atau
kebaikannya. Dan aku lebih memilih dikenal dengan prestasiku. Maka mulailah
pengejaraanku dalam perjuangan, usaha, dan belajar. Al-hasil selama tiga tahun
aku sekolah MA, tercatat 5 kali aku juara satu. Hal yang membanggakan. Tapi
ibarat kata mr. Bijak, semakin tinggi pohon tumbuh, makin santer pula angin
yang menerpa, beraliansi untuk menumbangkannya. Tapi semakin sering pohon itu
bertahan, semakin kokoh si pohon. Si ABG labil kadang berhasil kadang terpuruk.
Tapi itulah kiranya yag namanya proses. Tak selamanya berhasil atau menang.
Adakalanya kau harus merasakan getirnya kalah sebelum manisnya kemenangan. Ada
kalanya kau harus tertunduk malu sebelum mendongah bangga. Adakalanya kau harus
menangis terlebih dahulu sebelum tersenyum puas.
teman seperjuangan ujian PBSB
Segala proses itu, entah gagal atau berhasil, masing-masing
meninggalkan jejak pada diri, penyumbang terbesar terhadap persepsi, prinsip
dan pendirian. “Believe in your self. Be confident with what you can do. No
success can come without the confident of the strenght within”, 23 oktober
2009. Kata yang terukir manis dalam diary-ku.
Masa-masa itu aku tengah membangun kepercayaan
diri. Berusaha membangunkan macan dalam diri, karena aku yakin aku bisa
melakukan hal-hal yang besar jika aku mau, jika aku berani, jika aku percaya
diri. Terutama saat aku melatih diri berbicara di depan forum. Pembelajaran
kepercayaan diri ini aku mulai dengan mengikuti lomba pidato bahasa inggris
atau news reading contest. Al-hasil dua piala terpampang di ruang
tamu rumah dan satu lagi terpajang manis
bersama tropi lainnya di sekolah. Sejauh itu aku menganggap diri berhasil
membangun kepercayaan diri dan aku teruskan di kelas reguler maupun non
reguler. Semakin hari aku semakin gila berbicara, berevolusi menjadi cerewet
dan berani bicara tak hanya ngomong dibelakang, tapi juga diforum. Masa-masa
itu, lucu untuk di kenang. Apa lagi saat era membanjirnya buletin. Antara
komunitas ini dan itu saling serang dengan buletin. Tak hanya berani mencaci
atau menghujat langsung, tapi lebih menggunakan kekuatan dunia jurnalis yang
berusaha di singkronkan dengan keilmiahan untuk memojokkan komunitas lawan.
Masa-masa dimana ahlul baits meresponnya dengan komentar positif sebagai
penghidupan suasana ilmiah dalam pesantren. BTS, Idafi, Al-Aziz, Exsis, Bad
Boys, dan entah apa lagi judul buletin yang dikeluarkan. Mulai dari sini,
kecintaanku pada dunia jurnalis tumbuh, di samping kecintaan pada puisi, cerpen
dan novel terus aku kerjakan. Bahwa menyuarakan pikiran tak hanya secara lisan,
lebih menarik lewat tulisan apa lagi disertai referensi yang kadang di
sinkron-sinkronkan sebagai pendukung. Haha…
Pengalaman religius adalah bagian mutlak yang dialami
santri. Begitu pula aku. Tak pernah setenang ini beribadah di pesantren. Tanpa
gangguan dunia luar karena sejatinya tempat yang paling kondusif untuk menimba
ilmu adalah demikian, terisolasi dari dunia luar yang mengandung unsur negatif
sebagai pengganggu. Seperti nukleofilik saja, yang berstatus pencari gara-gara
terjadinya reaksi. Hehe… J
kalau tidak salah begitu pula yang tercantum dalam kitab ta’lim muta’allim.
Kejadian paling religius yang membuatku serasa paling
alim dalam cerita hidupmu adalah istiqomah shalat tahajud pukul tiga dini hari
minimal 10 rakaat, shalat dhuha dan rajin shalat qobliyah ba’diyah.
Bahkan pernah merasakan nikmatnya shalat hingga terisak. Ketenangan yang bagai damai
tiada tara. Hingga apa yang menimpaku, begitu mudah untuk merasa ikhlas. Yang
ada dalam fikiranku hanyalah apa yang ada diriku, apa yang aku punya, apa yang
aku alami, segalanya berasal dari Sang Maha Asal. Jadi saat aku kehilangan
sesuatu tak peduli seberapa berharganya, aku rela, karena itu bukan milikku.
Saat ada penyebab kesedihan atau kesakitan, aku rela, bahkan menikmatinya.
Aneh. Teramat aeh. Tak ada pemberontakan terhadap diri untuk melawan ketidak
enakan itu. Hanya menikmati, dan hasilnya memang menenangkan. Kejadian itu,
ingin rasanya ku ulang kembali, tapi susah. Hehe……
Sebagai penutup masa kepompong dalam pesantren, sedikit
ku kutip, masih sama dari diary, “Tak rela tapi dipaksa rela. Tak mau bersedih
tapi dipaksa bersedih. Yah, inilah yang namanya hidup. Tak mungkin senag terus.
Tak mungkin sesuai keinginan terus. Kalau hidup seperti inginku, aku ingin
ayahku hidup lagi. Kalau hidup bisa senang terus, aku ingin jadi wisudawati cum
laude hingga beasiswa S3 di luar negri. Asyik kan ? hanya bisa berharap
benar terwujud…… hmmm… dasar penghayal tingkat tinggi… hehe J
“, 02 juli 2011. Dan beralihlah kehidupanku dari fase ababil ke masa
pendewasaan diri, dunia kampus…. J
J J
aku dan dunia kampus (farmasi)
Komentar
Posting Komentar