“
Alchemy is the science of understanding decompositing and recompositing matter.
However, it is by no means omnipotens. It is not possible to produce something
from nothing. The nature of alchemy is such that, if one desire to obtain
something, he will be required to pay an equivalent price. This is the
foundation of alchemy, called equivalent exchange.......”
Laki-laki muda berperawakan
jangkung dan kurus itu masih saja membolak-balik kamus bahasa inggrisnya yang
sudah lecek dan protol sana-sini dengan
begitu semangatnya untuk mengerti buku yang sedang dibacanya itu.
“Bi, sudah jam lima ini. Kamu ga’ mau
balik ? “ teguran yang berasal dari belakang punggungnya itu berhasil membuat
tangannya menutup kamus bututnya.
“Apa ? Jam lima ? Matilah aku”
Barulah tersadar dari asyiknya bertapa di
tengah berjebahnya tumpukan buku di perpustakaan, membuat pemuda itu terlupa
jika waktu subuh telah terlewat.
“Saya titip buku ini ya, pak. Besok saya
ke sini lagi untuk membacanya”
Tanpa menunggu persetujuan si bapak
setengah baya itu, langsung saja si pemuda melenggang cepat menuju mushalla
dekat ruangan baca tadi untuk sekedar menunaikan shalat subuh kilat, untuk selanjutnya
seperti banci yang di kejar trantib menuju tempat huni yang telah lima tahun
menjadi pengganti dari rumahnya, ya sebuah pondok pesantren yang berjarak
sekitar lima kilometer dari posisinya sekarang, Pondok Pesantren Nurul Qarnain,
pesantren yang konsentrasinya pada kajian kitab alias salaf murni yang
berlokasi di desa Baletbaru, Jember.
£¤§
£¤§
“Mau
kabur ya ? “ Suara berat yang tiba-tiba muncul dihadapan si pemuda, membuat
perasaan takut tertangkap basah semakin membesar.
“Dasar. Bikin kaget saja kamu itu, Qim....hehe”
mungkin sedikit melega jika dia tak harus tertangkap basah oleh pengurus,
melebihi teman sekamarnya sendiri, Taqim.
“Kamu di priksani Gus Tamam ba’da
subuh tadi, Bi “
“ Terus ?”
“Beliau sudah tahu”
“Sungguh ? Aduh ! Harus gimana aku ini,
Qim ? Kesalahan hari ini aku kebablas subuh untuk kembali”
“Hehe....ga’ apa-apalah, Bi. Temui saja
Gus Tamam......”
“Sedang apa kalian ?” suara berat nan
sangar terpaksa membuat perasaan yang
sempat to be continue tadi kembali menyengat syaraf dan segera mengirim
informasi ke otak dan di terjemahkan sebagai perasaan takut, ya karena suara
itu adalah suara Si Penegak Hukum di Negara Ponpes Nurul Qarnain, Ustadz Rozy,
koordinator keamanan pondok.
“Ini sudah jam setengah tujuh. Kyai Idris
sudah rawuh untuk murok Atsqiya’, kenapa kalian masih di
sini ?”
“Ehm.... Kami baru saja numpang mandi di rumah
Pak Hasyim, Ustdz”
Tak kehilangan akal, Taqim sengaja
membawa handuk sebagai alibinya untuk menyelamatkan kawan karibnya itu, ya keputusan
pengasuh santri putra diperbolehkan numpang mandi di rumah penduduk sekitar
memang alibi jitu terbebas dari introgasi Ustadz Rozy.
Kejadian hari ini tak lantas membuat
pemuda yang akrab dipanggil Habiem yang diadopsi dari nama lengkapnya M. Habibi
itu jera untuk mengulang perbuatan kurang terpujinya. Hampir setiap dua malam sekali
ketika lewat tengah malam dia menyelinap keluar pesantren menuju perpustakaan
SMA-nya dulu, hanya demi memuaskan nafsu keingintahuannya terhadap ilmu sains.
Sebenarnya ia ingin sekali melanjutkan pendidikannya ke jenjang universitas,
namun karena masalah klasik tentang finansial yang membuat ia harus mengubur
keinginannya sementara ini, apa lagi fakultas yang ingin ia ambil itu bukan
sembarang fakultas, yaitu Fakultas Kedokteran.
Ada
hal yang sangat mengispirasinya tentang ilmuwan muslim jaman dahulu yang tidak cuma
menguasai ilmu agama tapi juga sains, tak ada dikotomi ilmu, semua ilmu itu
posisinya sama-sama harus dipelajari karena sejatinya belajar itu hukumnya
wajib. Dimana hal tersebut mampu membawa islam dalam masa keemasannya. Yang sedikit
ia tidak mengerti adalah ketika ia di pesantren ini yang setiap hari mempelajari
kitab klasik yang merupakan hasil pemikiran cendekiawan muslim yang
menakjubkan, yang ahli di banyak bidang, diperkenalkan biografi yang mampu
membakar semangat, tapi mengapa status santri terkesan kolot dan kalah saing image
dengan pelajar yang sukanya dimanja produk modern ?
Pemikiran
tentang tanda tanya status santri itu meraja dalam ruang fikir Habiem tatkala
semalam Habiem sempat nangkring di “Batsul Masa’il” setelah menghadap Gus
Tamam, tokoh yang mengispirasinya untuk melakukan pelanggaran keluar pesantren
malam secara diam-diam. Pembicaraan empat mata dengan sang inspiratornya itu
semakin meneguhkan tekad tentang hal yang terbilang anomali yang bersambut
dukungan dari beliau.
Batsul
Masa’il eksistensinya dirintis oleh Gus Tamam, mantu Kiai Idris yang baru saja
tiga tahun memulai perjuangan mewarnai
sistim pendidikan di bumi NQ ini pernah berdawuh “Saya ingin lewat kegiatan
ini santri mampu menjawab masalah islam kontenporer dengan problem solving
yang di back up dari kitab tentunya, tujuannya agar santri tak statis kaku tekstual dalam memahami islam,
tapi lebih luwes dinamis sambil lalu melatih kepercayaan diri dalam berbicara
di depan forum”
“Ulama
itu adalah pewaris Nabi, dan Nabi tidak mewariskan pada kita dinar atau dirham,
yang diwariskan Nabi hingga kini itu hanyalah ilmu. Barang siapa mengambilnya,
ia telah mendapat yang banyak dan sempurna, diriwayatkan oleh le’ Abu Daud,
Al-Tirmizi, Ibnu Majjah dan Ibnu Hibban.....hehe...” Tukas Gus Tamam yang biasa
akrab dengan saantrinya.
“ Ilmu
tidak akan pernah habis dikonsumsi, bahkan akan semakin berkembang. Dan ilmu
itu tak berbatas hanya masalah agama dan syariat, masih banyak PR kita selaku
umat Nabi untuk menguak warisannya itu. Tinggal bagaimana kita menempatkan
keingintahuan kita untuk mengungkapnya. Jadi, silahkan saja liarkan fikiran
kalian untuk memecahkannya, ya asal jangan sampai kebablas dari aqidah
rabbaniyah” lanjut Gus Tamam dalam penutupan Batsul Masa’il yang tentu saja membuat
darah muda Habiem dan santri yang lain merasa terbakar.
Buah
dari Batsul Masa’il adalah salah satu permasalahan semalam yang masih maukuf
membuat Habiem penasaran, yaitu tentang ari-ari yang adatnya masyarakat
biasa di kubur dengan diperlakukan sama layaknya tubuh manusia, namun ada kasus
anomali ketika penduduk memperlakukan ari-ari tersebut dengan menggantungnya
dalam kendi di atas genteng.
Malam inipun ketika kedua jarum jam telah
meninggalkan angka 12, bergegaslah Habiem melewati pagar belakang asrama putra
dalam misi rutin menuntaskan kebodohan akibat tanda tanya besar dalam benaknya.
Dia bisa dengan mudah masuk perpustakaan karena kenal dengan Pak Darto penjaga
sekolah, dari beliau ia mendapat kunci masuk. Tapi sayangnya, niatnya kali ini
harus terhentikan.....
“Mau kemana sampean, Bi ?”
“Ustadz Rozy ?”
Ya, Ustadz Rozy menangkap basah Habiem
yang hendak menyelinap keluar pagar belakang asrama putra.
Ba’da subuh, langsung saja ndalem
Kiai menjadi ajang perdebatan tajam. Ya
tentu sajalah Ustadz Rozy yang sejak lama telah memperhatikan gerak-gerik
Habiem seperti singa yang sedang melihat mangsa jarak dekat, segera ingin
memangsanya. Kedekatan Habiem dengan Gus Tamam hingga sering diajak keluar saat
ada undangan dari masyarakat, menjadi faktor utama kecurigaan atau bahkan
kecemburuannya. Kabarny, Habiem sering mendampingi Gus Tamam mengisi ceramah di
hajatan masyarakat. Bahkan karenanya Habiem mendapat perlakuan khusus diizinkan
menjadi salah satu tenaga pengajar di SD swasembada hasil iuran warga untuk
anak-anak yang terkendala finasial tidak bisa sekolah, lokasinya dekat
pesantren yang juga menempatkan Gus Tamam sebagai kepala sekolahnya. Habiem
diberi kesempatan mengajar khusus hari selasa dan jum’at saja ketika kegiatan
pagi hari pesanten mendapat jatah libur.
Bahkan
Habiem di tuduh merebut jatah Ustadz Rozy sebagai kandidat kuat untuk menjadi
ketua penanggung jawab wacana “Bank Sampah” yang digagas Gus Tamam, yaitu
kegiatan mingguan untuk mengumpulkan sampah di lingkungan dalam pesantren dan tetangga
sekitar pesantren yang selanjutnya dipilah untuk di jual seperti sambah kertas
dan plastik, sedang barang yang bisa di daur ulang sendiri seperti kompos
digunakan untuk keperluan pertanian, meski belum diterapkan pada lahan pertanian
penduduk, setidaknya mulai diterapkan pada persawahan milih pesantren. Dan
hasilnya tidak terlalu mengecewakan, selain menghemat pengeluaran untuk
konsumsi pupuk, santri juga terberdayakan skillnya.
“Pelanggarannya sudah tidak bisa
ditolerir lagi, Kiai. Tengah malam menyelinap seperti maling”
“Tapi abdhina punya alasan melakukannya,
Ustdz”tukas Habiem berusaha mempertahankan alibinya.
“Tapi kenapa harus tengah malam ? Apa
kata tetangga nantinya jika tahu kelakuan santri seperti ini ?”Ustadz Rozy tak
mau kalah, sedang Kiai masih saja mengizinkan lempar tuduh-pembelaan kedua santri
kebanggaannya.
Dari balik ruang tamu, Neng Naifah keluar
membawa nampan berisi teh.
“Diminum dulu, biar fikirannya tenang”
suguh Neng Naifah.
“Bagaimana pendapat Neng tentang kasus
ini ?” tanya Kiai Idris.
“Mungin cuma masalah pemahaman saja, yang
satu mengaku benar dan yang lain menuduh salah. Memang kadang niat yang
dianggap benar jadi salah karena berhadapan dengan aturan...hehe....mungkin
begitu pendapat abdhina, Abah” dengan wajah ramah dan senyumnya yang
manis, Neng Naifah menjawab tenang sambil berlalu di balik kelambu pembatas
ruang tamu, dan Ustadz Rozy yang telah lama terkagum dengan kebijakan kata Neng
Naifah sejenak teralihkan fokusnya.
“Lalu bagaimana keputusanmu, Rozy ? kalau
menurut peraturan pesantren bagaimana ?”tanya Kiai lebih lanjut,
“Menurut peraturan pesantren jika ada
yang keluar tanpa izin itu di gundul da diistirahatkan dari kepengurusan untuk
kaffaratudzunub sambil menghatamkan
Qur’an di astah”
“Tapi itukan jika sudah pelanggaran yang
ketigakalinya, ustadz ?”sanggah Habiem tak terima.
“Dan abdhina rasa ini bukanlah
pelanggaran ajunan yang pertama, bukan ?”
Dan Habiem tak bisa lagi membantahnya.
“Semalam Habiem sudah memimta izin dari
saya, Abah”tiba-tiba muncul suara dari balik pintu, ya sekiranya Gus Tamam
hendak menjadi penyelamat Habiem kali ini.
“Untuk keluar pesantren tengah malam
?”sambut Kiai Idris.
£¤§
£¤§
“Sudah libur kamu, Bi ? Kok sudah pulang
?” tanya Gus Tamam ketika melihat kedatangan Habiem bersama Neng Naifah.
“Iya, Gus. Sehabis UAS tadi langsung
ngajak Neng Naifah pulang, katanya sudah kangen sama Abah...hehe...” jawab
Habiem sekenanya.
“Naifah atau kamu yang ingin pulang ?”
“Itu cuma alasan Mas Habiem saja, Kak. Sebenarnya
dia sendiri yang ingin pulang. Katanya sudah kangen melihat perkembangan NQ”
sanggah Neng Naifah yang tak mau merelakan diri begitu saja dijadikan alasan
kepulangan mereka dari penatnya kuliah.
“Ya, makanya cepatlah kau selesaikan
kuliahmu itu, biar cepat-cepat jadi dokter muda, biar tidak banyak menghabiskan
uang pesantren, biar cepat-cepat bantu pesantren ini, Bi’”
“Maunya sih begitu, Gus. Tapi apalah
daya, masih setahun lagi jadi dokter muda mendampingi buk bidan ini....hehe...”toleh
Habiem kearah Neng Naifah yang sudah resmi dipersuntingnya sejak tiga tahun
yang lalu sebelum keberangkatannya menuju ranah Timur Jawa Dwipa, Universitas
Airlangga untuk menuntaskan keinginan terpendamnya mendalami ilmu kedokteran.
Sedang Neng Naifah sudah tinggal menunggu untuk diwisuda, karena lebih dulu
kuliah.
“Hehe....Ya sudah, istirahat dulu sana.
Besok saya ingin mengajak sampean menengok amanah yang dititipkan Rasul
dulu”
“Iya, karena murid adalah amanah Rasul
kepada seorang guru....hehe... Kak Tamam tidak capek setiap hari keliling tiga
sekolahan untuk ngajar ?” sela Neng Naifah yang mengerti maksud pembicaraan
keduanya tentang lembaga pendidikan yang beberapa tahun lalu mulai dirintis
keduanya, yaitu SDI, MTs, dan MA.
“Ya begitulah, karena ingin mengikuti
sunah Rasul yang dibilang mengajar adalah sedekah yang paling baik. Oh ya,
Bi....katanya kau sering pasang muka di
koran ya ? Kemarin saya baca salah satu tulisanmu yang judulnya “santri
nonmadesu”, ...hehe...dapat dari mana istilah nonmadesu itu, Bi
?...hehe...madesu, masa depa suram.....”
“Yah, cuma iseng mengisi waktu lowong
saja, Gus. Sabdanya Nabi sih yang pandai tolong menulis bagi yang kurang
pandai...hehe....”
“Dasar kau ini, Bi...hehe...iya memang, lebih
banyak menulis akan lebih meluaskan ilmu kita”
“Amien....oh iya, Gus. Katanya kemarin
sedang kesulitan mencari kepala sekolah pengganti untuk SDI ya ?”
“Itu sudah bisa di tangani, Bi. Saya
mengangkat Ustadz Rozy jadi kepala sekolahnya...hehe. Taqim juga bantu-bantu di
sana”
“Ustadz Rozy ? wah, sudah lama tidak
mendengar kabarnya”
“Jadi ingat kejadian lima tahun yang
lalu, Kak Tamam sampai mati-matian membela Mas Habiem....hehe....padahal
jelas-jelas Mas Habiem yang salah”
“Sudahlah, Neng. Itu masa lalu....hehe....Abah
sampai bingung yang mana yang benar, sampai-sampai abdhina diserahkan
pada Gus Tamam, yang pastinya ga’ bakal di hukum. Dan abdhina bisa
merasakan gimana malunya Ustadz Rozy waktu itu.”
“Jadi kalian pulang hanya untuk bertemu
dengan kakak iparmu ya, Naifah ?” suara yang muncul dari perempuan anggun yang
tengah berjalan menuju ruang tamu membawa nampan itu berhasil mengalihkan
perhatian ketiganya.
“Mba’ Nadifa....” Neng Naifah segera
bangkit menghampiri kakak perempuan yang begitu akrab dengannya diatara dua
kakaknya yang lain.
“Mentang-mentang betah di Surabaya,
sampai pulang cuma enam bulan sekali. Sudah lupa dengan keluarganya yang di
sini ya ?”
“Bukan begitu, mba’. Sering pulang salah,
jarang pulang juga salah. Bagaimana ini ?....hehe....”
Selepas istirahat sejenak, keesokan
harinya Gus Tamam mengajak Habiem dan Neng Naifah berkeliling pesantren. Sejak
mulai didirikannya lembaga pendidikan formal berupa SDI, MTs dan MA dan
beberapa khursus keterampilan membuat NQ mulai memadat santrinya. Entah yang
cuma datang saat sekolah formal saja ataupun yang benar-benar nyantri. Bahkan
pesantren punya usaha sendiri untuk mencukupi kebutuhannya dan tak lagi cuma
mengandalkan dari hasil panen sawah. “Bank sampah” yang dulu mulai dirintis kini
mulai menunjukkan hasilnya yang lumayan signifikan. 2 koperasi yang di bangun
di area putri dan putrapun turut memberi sumbangsih pembangunan pesantren,
bahkan koperasi di area putra berkembang menjadi minimarket. Laba dari koperasi
dioperasionalkan untuk keperluan SDI dan MTs, sehingga santri tak perlu
membayar uang sekolah, cukup membeli buku penunjang pembelajaran saja.
Kecintaan Kiai Idris akan kebersihan,
yang setiap pagi sebelum murok kitab selalu menyempatkan mengontrol
kebersihan pondok, membawa nama NQ ke kancah provinsi sebagai ponpes terbersih.
Dan diseimbangkan pula dengan penggerak revolusi sistim pendidikannya, yaitu Gus
Tamam yang setali tiga uang dengan Habiem. Sebagai regenerasinya, ponpes mulai
menggagas santri-santri terbaiknya untuk dikuliahkan di universitas, atau
sekedar mondok di pesantren modern lain sebagi bentuk study banding yang
nantinya diharapkan menunjang pengembangan pesantren. Karena jika jago di dalam
kandang saja tidak akan membawa kebangggaan
dan ilmu tidak berkembang karena hanya menjadi katak yang hanya tahu
akan keadaan tempurungnya saja.
Keinginan
terbesar Gus Tamam dan Habiem yang sempat mendapat pertentangan juga diantara ahlul
bait yang lain adalah mewujudkan NQ sebagai pesantren modern, bilingual.
Alih-alih takut melunturkan warisan budaya sedikit terdispensasi dengan prinsip
ahlussunah wal jama’ah keyakinan mereka sendiri yaitu, mengambil yang baru tak
harus meninggalkan yang lama. Yah, memang begitulah yang namanya perjuangan tak
akan selalu lurus dan lancar, tapi masih harus bertemu kerikil untuk tersandung
atau duri yang sedikit melukai daging, tapi nanti manisnya perjuangan akan
terasa diakhir.
Jika
tidak ada yang memulai dan memperjuangkan, tidak akan ada yang berubah. Bukankah
sejak dulu pesantren merupakan pusat peradaban islam di Indonesia, mengapa
tidak saat ini terus berjalan bebanding lurus dengan era globalisasi untuk
terus meenjawab tantangan zaman yang semakin lama dirasa semakin krisis manusia
pintar tapi sadar nilai moralitas. Sedang jiwa itu bisa ditemukan dalam ruh
santri.
£¤§
£¤§
“Ini Adin, kemarin dia juara dua lomba
cerdas cermat tingkat kecamatan...yah, lumayanlah, Bi” ucap Gus Tamam
memperkenalkan anak kecil berkulit sawo matang itu pada Habiem dan Neng
Naifah yang tengah mengunjungi SDI.
Segera anak bernama Adin itu mencium
tangan Habiem. “Belajar lagi ya yang rajin, biar jadi presiden kelak ya,
Adin...hehe”ucap Habiem sembari mengusap kepalanya.
“Assalamu’alaikum...Wah,
sepertinya abdhina kedatangan tamu istimewa dari Surabaya
ni...hehe...”tegur Ustadz Rozy yang baru saja datang.
“Wa’alaikum salam....iya, Ustadz
Rozy. Mumpung libur...hehe” sergah Habiem.
“Kapan Gus Habiem yang sampai ?”
“Apa ? Gus ? Jangan memanggil abdhina
begitulah, Ustadz Rozy. Abdhina jadi ga’ enak...hehe...”
“Tak perlu merasa begitulah, Gus. Jika
menikah dengan Neng kan sudah jadi mantunya Kiai, ya di panggil Gus...hehe”
ucap Ustadz Rozy yang terlihat sekali masih tak bisa bersikap biasa terhadapan
dengan Habiem yang entah menurut versinya telah membuatnya patah hati karena
berhasil membuat nama baiknya jatuh hancur berkeping begitu saja. Mulai dari
kepercayaan ahlul bait, kepandaian Habiem untuk mempengaruhi santri
hingga dia memiliki dukungan saat merealisasikan pemikiran demi pemikiran untuk
merubah sistim di pesantren ini yang tentunya mendapat persetujuan penuh dari
Gus Tamam. Dan yang lebih membuat Ustadz Rozy seakan tak punya wajah berhadapan
dengan Habiem adalah saat Neng Naifah, pujaan hatinya ternyata memilih Habiem
sebagai suaminya.
Tapi semua perasaan iri itu tak lantas
terangkat kepermukaan, karena Habiem sendiri benar-benar lihai mempengaruhi
orang-orang disekitarnya. Bahkan Ustadz rozy sendiri dibuat tunduk, ta’dzim.
Bahkan banyak yang berani bertaruh jika Habiem adalah kandidat kuat yang akan
membawa NQ pada kejayaan. Jadi tak ada alasan Ustadz Rozy untuk membencinya,
karena sesusngguhnya dibalik ketidak sukaannya, ada perasaan kagum pada Habiem,
yang dulunya adalah muridnya.
£¤§
£¤§
Saya sama sekali tak pernah berniat
untu mengetuai atau so’ jadi pemimpin, hanya saja dengan apa yang ada dalam
pemikiran saya berusaha untuk menjadikan hal yang berguna. Di pesantren saya
menghabiskan waktu produktif saya, berusaha menaklukkan ganasnya nafsu yang
kadang bagi sebagian besar remaja yang hidup bebas diluar sana tak bisa
mengendalikannya. Dari pesantrenlah saya mengenal arti penting di balik mengapa
saya harus memperjuangkan hidup saya, dengan bernafaskan panji-panji islam yang
pesantren tanamkan pada ruh saya, saya mulai tersadar bahwa sangat dekatnya santri
dengan kehidupan yang humanis dan harmonis. Bukan dikendalikan oleh sistem yang
seolah hanya peduli pada kualitas intelektualitas tanpa memperdulikan karakter
yang harus dijaga untuk membalut intelek itu sendiri.
Saya cukup prihatin dengan bayang-banyang
yang dilantangkan arus globalisasi bahwa santri itu “Madesu”, masa depan suram.
Itu salah, justru yang seharusnya ada adalah dengan jiwa santri, dunia ini
harmonis, Indonesia ini akan terbebas dari masalah klasiknya tentang KKN. Karena
bukan jiwa santri untuk mencolong uang rakyat, meski dia sendiri termasuk
rakyat. Bukan jiwa santri yang suka menghambur-hamburkan hal berharga termasuk
materi apalagi waktu untuk hal yang mubadzir, karena jiwa santri yang
sesungguhnya adalah berfikir produktif, berperadaban dan menjaga kontrol
akhlaqnya.
Ilmu yang diterima santri adalah ilmu
yang sebisa mungkin tak cuma bermanfaat menjaga peran sertanya dimata
masyarakat, namun juga berusaha menjaga spiritualnya dengan pendidikan
berkarakter yang selama ini menempanya di pesantren, itulah sebuah usaha
menginternalisasikan nilai moral dalam upaya pemanusiaan diri. Karena rumus
sukses santri adalah menTuhankan Tuhan dan memanusiakan manusia. Dari situlah
santri punya reminder tentang siapa dirinya di dunia, di hadapan Tuhannya ataupun
dihadapan dirinya sendiri.
Bukan hal yang mustahil jika suatu saat
nanti santri berkuasa di negeri ini mewujudkan negara madani seperti yang
pernah Rasul bangun di Madinah dahulu. Karena sejarahpun telah mengakui
seberapa besar jiwa nasionalis patrionalisme santri terhadap bangsa ini.
Menemukan kembali identitas dan jati diri bangsa ini, bukan terpenjara dalam
perilaku pragmatis dan formalistik hingga menjadikan negara ini multiproblem
dan dekadensi moral, tersesat meneladani bangsa lain yang lebih maju dalam hal
akulturalistik dan mempertuhankan nafsu. Tapi kembali pada identitas sebenarnya
yaitu jiwa Pancasila yang sejak dahulu menjadi jantung, denyut nadi bangsa Indonesia.
Dari pesantren, kami kaum santri hendak
mendeklarasikan pesan mulia yang hendak kami emban demi terwujudnya harmonisasi
kehudipan, sebuah pesan yang kiranya kami anggap sangat keren untuk kehidupan
modern dewasa ini. Bahwa kami, komunitas santri ingin turut berjuang mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kehidupan demokratis humanis
bukan democrazy. (Habiem_Calon presiden RI tahun 2039)
Surabaya,
22 Nopember 2012 ,03.43
siapa Habiem itu lis? pujaan hatimu kah? ihihihi :)
BalasHapusbukan, nad... hehe
BalasHapusbeliau adalah salah satu orag y q kagumi,banyak pelajaran hidup y q dapat dr beliau ^_^