“Seni bukan
hanya partitur yang diekspresikan lewat
musik, pun pula warna yang dicurahkan
pada kanvas”
Aku dipaksa untuk
belajar membunuh ingin dan ambisiku menjadi pelukis, dan sebagai gantinya,
setiap hari aku harus mendengar ajaran ibu Rika yang rutin menjejal otakku
dengan segala macam partitur karya Bethoven ataupun sang maestro legendaris,
Mozart yang selalu dikagum-kagumi oleh hampir seluruh pianis dunia. Aku akui
itu karya yang hebat, bernilai seni tinggi. Tapi seni tertinggi bagiku adalah
seni lukis. Aku lebih mengagumi Michaelangelo
Buonarroti, Pablo Ruiz Picasso dan tentu saja Leonardo da Vinci dengan mahakaryanya Monalisa dan the Last
Supper.
Obsesi Bundaku yang juga berprofesi sebagai musisilah
yang membuatku seperti ini. Rasanya seperti pengagum seni yang salah sasaran
menyalurkannya.
Hari ini seleksi masuk orkestra yang diadakan oleh Dewan Kesenian
Indonesia untuk mencari pemain-pemain berbakat di seluruh Indonesia. Dan sudah
barang tentu aku divorsir sejak 2 bulan lalu, terus berkutat dengan partitur
dan dominasi hitam putih tuts piano kini telah membuatku mencapai ambang batas
kesabaran dan kepenatanku. Aku lelah terus didikte, yang rela mengikuti
skenario orang tuaku. Meski terkadang ada kalanya aku merasa nyaman
mendengarkan alunan musik, apa lagi jika kak Danish yang memainkannya, senyumnya
yang begitu renyah ketika ia bermain piano, senyum tanda kepuasan batinnya.
Tapi aku bukanlah kak Danish yang memang hidup dan matinya seolah
sudah hanya untuk musik. Aku, masih mencintai seni lukis. Hufh ! seperti
terbagi dua hatiku ini. Antara seni lukis yang kucintai dari hati terdalamku,
dan musik yang kutekuri karena Bunda dan Kak Danish sering memperdengarkannya
padaku. Maka dari itu, terkadang aku merasa penat dan jenuh saat 2 bulan ini
divorsir belajar musik, hanya partitur di hadapanku. Dan kejenuhan itu telah
mengilhamiku bagaimana jika aku kabur saja dari kompetisi itu ? Entah. Aku
hanya butuh ketenangan untuk berfikir.
Pagi buta sebelum orang rumah terbangun, aku sudah menyisir jalan
dengan mobil Mercedes Benz E Class tipe E 300 milik Papa. Entah kemana. Ketika mentari
hendak tersenyum renyah, aku berhenti di suatu pantai entah di mana. Sunrise
ini terlihat begitu memukau, sunyi sepi menambah romantisme kedamaian hati.
Sepi, mungkin hanya aku seorang di sini. Riuh ombak saling beradu dengan angin,
seolah membentuk simfoni yang lebih indah dari gubahan Mozart ataupun Bethoven.
“Aauu...” teriakku ketika tak sengaja tubuhku terbentur seseorang.
“Ehmm ! Gadis manis berjalan sendiri di pantai sepagi ini. Lagi
cari wangsit, ilham atau inspirasi ?”
Mau apa laki-laki ini ?
“Inspirasi ?” tayaku lebih lanjut.
“Sepertinya kamu seorang seniman”
“Anda tahu dari mana ?”
“Hanya membaca saja dari
sinar matamu ”
“Anda siapa ? Berani sekali anda mengambil kesimpulan seperti itu”
“Perkenalkan, saya Leonardo Da Vinci” ia menjulurkan tangannya.
“Leonardo Da Vinci ?....haha...”tawaku meledak mendengar sosok
lelaki berperawakan brewok mengakui dirinya sebagai Leonardo Da Vinci. Berani
sekali dia. “Kalau begitu aku adalah Monalisa”
Iapun turut tertawa mendengar jawabanku. “Teman-teman biasa
memanggil aku Vinci, pelukis yang gila mengejar pemandangan ekstrem. Kamu ?”
“Lisa”
“Tapi bukan Monalisa kan ?...hehe”
“Bukan, namaku Lisa Azka Aisar”
Sambil menyisir pantai dan membiarkan kaki dijilat oleh air laut
yang menepi, kami berbincang. Akupun larut menceritakan tentang ambisiku yang
harus rela terbunuh hanya untuk menjadi sang pianis hebat dambaan Bunda dan
Papa.
Aku diajaknya ke suatu bangunan atau mungkin lebih tepat menyerupai
rumah tak jauh dari pantai, ia sebut sebagai museum pribadi. 3 ruangan
masing-masing berukuran sekitar 10x10 meter itu dipenuhi berpuluh atau mungkin
seratusan lukisan berbagai ukuran.
Banyak cerita mengagumkan aku dapatkan dari orang yang baru saja
aku kenal ini, seperti saat ia berburu isnpirasi hingga ke pelosok hutan
memotret kehidupan primitif di atas kanvas di pedalaman Irian. Aku kagum
melihat karyanya, mendengar ceritanya.
“Mau lihat maha karya Leonardo da Vinci ?” tawar lelaki usia kepala
empat itu di sela asyiknya aku menikmati seni lukisnya.
“Mana, om ?”
Segera ia menyingkap kain putih sebagai penutup kanvas berukuran
2x2 meter. Nampaklah potret lukisan seorang wanita dengan rambut terurai
bergaun biru tua sedang tersenyum manis ke arahku. Bahkan latar tempatnya mirip
dengan Monalisa karya Leonardo da Vinci yang asli.
“Monalisa 30 agustus 1994”ku baca goresan kecil di pojok kiri bawah
lukisan itu.
“Sudah ku bilang kan ? Ini mahakarya Leonardo da Vinci...hehe...”
“Dia siapa, om ?”
“Masa lalu. Ini lukisan pertamaku yang berukuran 2x2 waktu kuliah
dulu”
“Pasti dia orang yang spesial”
“Hehe...seperti itulah. Tapi takdir tak mengizinkan kami bersatu,
karena dia terobsesi menjadi pianis hebat dan melanjutkan studinya ke Eropa. Bahkan
dulu aku sempat belajar sedikit tentang musik darinya, terutama piano. Kami
sering menghabiskan waktu dengan duet bermain piano atau sekedar membunuh waktu
luang akhir pekan di danau, untuk menemaniku melukis”
“Wah, romantis sekali ya, om ?Kalau boleh tahu siapa namanya, om ?”
“Rossa, ya Ika Aulia Rossa”
“Nama Bundaku juga Rossa, om...hehe..tapi Medhiana Rossari, Bundaku
juga seorag pianis, sempat belajar di Praha”
“Iya ? ”
“Iya, om”
Ku tolehkan pandangku pada 2 piano klasik yang saling berhadapan
terpajang di pojok ruangan.“Itu piano siapa, om ?”
“Dulu aku dengan Rossa sering memainkannya berdua”
“Lagu apa yang sering dimainkan, om ?”
“Rossa pengagum Mozart, jadi hampir semua 17 sonata untuk piano
karya Mozart kami memainkannya”
“Wah, berarti om juga pintar main piano ya ?”
“Yah, begitulah. Mau duet dengan om ? kita mainkan gubahan Mozart,
symphoni no. 40”
“Elvira madigan ya ? Boleh”
“G minor ya”
“Ok Om”
Bergegaslah kami menuju piano itu yang sepertinya sudah lama tak
dipakai. Selama kurang lebih sepuluh menit kami bermain bersama. Jemarinya
lincah memainkan simfoni itu. Padahal dia sudah lama tidak memainkannya, malu
rasanya aku yang setiap hari akrab dengan tuts piano melihat keahliannya. Kami
sering bertemu pandang, tersenyum, menikmati seni, seni musik.
“Wah, om hebat”
“Ah, tidak seberapa. Kamu lebih jago”
“Om hebat, pintar melukis juga bisa main piano, jarang lhoh orang kayak
om ini, multi talenta”
“Jangan terlalu memuji. Justru memang seharusnya begitu, jika
mengaku pecinta seni, tidak hanya mengenal satu seni saja. karena seni itu
bukan musik, seni itu bukan lukis, seni itu bukan puisi, tapi seni adalah seni.
Seni memiliki keindahannya sendiri untuk menafsirkannya lewat lagu, lukisan
puisi ataupun nyanyian. Tergantung kita sendiri mau memilihnya yang mana”
“Benar juga ya kata Om, seni adalah seni”
Ponselku berdering. Panggilan dari Bunda.
“Iya, Bunda....ada apa ?”ku jawab
panggilan dari Bunda.
“Sayang, kamu di mana ? hari ini itu kompetisimu....”
“Iya, aku segera pulang, Bun....”
“Permisi, om...aku mau pulang dulu. Sebentar lagi aku ikut
kompetisi. Do’akan ya Om”
“Iya, good luck ya, Lisa. Kapan-kapan main ke sini lagi ya ?”
“Sip deh. Thanks, Om”
Segera aku menuju mobil untuk pulang. Lebih tepatnya menuju tempat
kompetisi karena 2 jam lagi sudah akan di mulai. Entah aku sudah tidak punya
alasan yang kuat lagi untuk kabur atau menghindar dari kompetisi itu, karena
seni bukanlah musik, seni bukanlah lukis, tapi seni adalah seni. Aku adalah
pecinta seni yang akan mengungkapkan keagungan seniku dengan musik kali ini.
Terimakasih Om Vinci.
¤§¤
“Tampillah sebaik
yang kamu bisa, sayang...Bunda tidak akan memaksa kamu untuk menjadi yang
terbaik”tukas Bunda di sela-sela kegiatannya
mendandaniku.
“Iya, Bunda itu
pasti.....nanti Papa ke sini kan buat ngeliat aku ?”
“Papa masih ada
kerjaan, mungkin akan telat datang. Ga’ apa-apa, kan sudah ada Bunda sama
Danish”
Kak Danish ? Yah,
si Mozart junior yang Bunda banggakan. Penyemangatku untuk terus bertahan
dengan segala macam partitur itu.
“Peserta
selanjutnya atas nama Lisa Azka Aisar dengan no peserta 48, akan membawakan
karya Wolfgang Amadeus Mozart, Elvira Madigan, Symphony
No. 40 in G Minor”
Hufh ! simfoni
itu baru aku mainkan dengan Om Vinci.Tenang, santai, mainkan.
Ku coba
menetralisir gugup ini. Kulihat Bunda dengan senyum bangga bersama tepuk
tangannya duduk manis berdampingan dengan kak Danish yang mengacungkan kepalan
tangannya berusaha menyemangatiku. Aku duduk dengan anggun bersama gaun biru
putih pilihan Bunda.
Tenang, santai, atur emosi dan mulailah menari wahai jari-jariku.
Lagu ini, musik ini, menyatulah dengan jiwaku. Tak ada lagi penat dan
kejenuhan. Menyatulah dalam jiwaku, mengalirlah dalam aliran darahku.
Mengalunlah dalam simfoni hidupku. Nyanyikanlah warna-warna yang selalu ingin
aku lukiskan. Gambarkanlah perasaan yang selalu ingin aku tuangkan lewat kuas,
kanvas dan cat, berpadu menjadi alunan merdu pianoku ini. Saksikanlah, ini
simfoniku, ini sonataku.
Kehidupanku yang tak mampu menjadikan jariku sebagai pemegang kuas
dan kotor akan taburan warna cat. Kehidupanku yang menjadikan jari jemari
bersihku menari di atas tuts piano, melagukan simfoni jiwa dan rasa.
Menyatulah dalam diriku wahai seni !
Berangkat dari hidupku yang ku pandang sebagai sebuah dogma, dogma
yang kulihat tak ada bedanya menyerupai kaca jendela, aku menyaksikan kebenaran
melaluinya, dan terkadang di biaskan olehnya.
Kebenaran tentang seni bahwa ia tak pernah menyiksa penikmatnya
untuk mengekspresikannya dengan apa, dengan musikkah ? dengan lukisan atau
gambarkah ? atau dengan untaian sajak berdiksi yang enak untuk dibaca, ataukah
dengan seni mematung untuk mewujudkannya lebih nyata dalam bentuk benda 3
dimensi. Semua itu sama. Sama-sama berklimaks pada seni, seni yang agung, meski
jalannya berbeda.
Pembiasan, mungkin aku rasa seperti aku ini. Jiwaku memanggilku
untuk menuangkan warna dalam kanvas, tapi kemampuanku terlatih untuk bermusik.
Dan inilah aku, seniku, kecintaanku, kehidupanku. Antara musik dan lukis. Ini
sinfoniku.
Suara riuh tepuk tangan membangunkanku dari ruang fikirku. Sudah
selesai, telah usai ku tunaikan seni
musikku, simfoniku.
“Sayang, penampilan kamu bagus sekali....terimakasih sayang...”ucap
Bunda sambil memelukku.
“Selamat ya,
adikku....ini yang aku tunggu dari dulu, saat kamu tersenyum dan menikmati
simfonimu”tambah kak Danish.
Yah, inilah aku.
Si pengagum seni yang mungkin dulu berfikir salah sasaran untuk melampiaskannya,
tapi kini kusadari seni tak pernah salah, tak pernah menuntut melalui apa dia
ingin diungkapkan. Lewat musik dan lukis. Itu yang hendak aku tekuri. Karena
seni adalah seni.
Surabaya, 22 juli
2012, 15:04
مخلصة
Komentar
Posting Komentar