Laskar
Badung, Surau yang Mati Suri dan Indonesia 20 Tahun Mendatang
Hari ke dua di desa tercinta, Desa
Sumber Jeruk. Aku sudah mulai terbiasa dengan dingin yang mengigit. Jika di
hari pertama aku masih terus berselaput selimut hingga dhuhur menjelang, kini
jaket tebal menemaniku untuk sekedar berkeliling di desa kelahiranku ini.
Mulai dari sungai yang waktu SD dulu
aku gunakan sebagai area bermain, berenang. Dulu jembatannya adalah jembatan
bambu, kini sudah bermetamorfosa berlapis beton. Dari jembatan itu dulu aku dan
teman-teman sebadung bejajar salto, mencebur ke air, apa lagi saat musim hujan,
datang sekolah tanpa ganti baju langsung ke sungai hingga sore. Dulu airnya
jernih dan dalam lebih dari 3 meter. Kini cetek dan berwarna coklat yang
desertai setia dengan sampah berserakan.
Beranjak pada air terjun di bawah
sungai, yang dulu tercipta karena banjir
hingga pinggiran sungai yang topografisnya lebih rendah dari persawahan, meluap dan menggugurkan sebagian
tepi sungai, dan jadilah air terjun mini yang menyebabkan persawahan di
bawahnya kandas menjadi anak sungai itu. Naas bagi pemilik sawah itu justru
menjadi anugrah tak terkira bagi anak-anak desa yang suka bermain. Kadang pula
kami membawa batang pohon pisang untuk di kendarai yang kami sebut “perahu jet”.
Masa itu, 10 tahun yang lalu, tergambar
jelas keceriaan dan kejayaan masa kecilku.
Badung bersama-sama saat selesai
mandi kami melajutkan ke bukit/gumuk untuk mencuri jambu monyet. Dan biasanya aku
yang di tunjuk untuk naik, karena aku yang paling cekatan manjat pohon diantara
yang lain, padahal aku cewe’ sendiri. Betapa lucunya ketika tertangkap si
pemiliknya atau bahkan mendengar anjing yang menyalak, kami lari bahkan
terkadang terguling ke kaki gumuk.
Memandang gumuk yang hanya menjadi
saksi bisu kebadungan kami itupun turut berubah, puncaknya mulai di tatar
menjadi sawah juga, mulai di tanami palawija dan si bambu yang dulu daunnya
kami jadikan alat yang dapat menghasilkan suara mirip suara burung yang kami
jadikan sarana berkomuikasi memberi isyarat dalam permainan. Bambu penghuni setia, kini tergusur dengan deretan
menjulang pohon jati.
Berbalik terus ke arah selatan,
hamparan pemandangan mengindahkan mata dengan warna hijaunya tembakau,
yupz...saat ini adalah musimnya petani tanam tembakau. Juntai rerumputan yang
masih basah oleh embun membut kakiku basah dan penuh dengan bintik-bintik
lumpur. Sungguh indah, namun ada yang sedikit merusak, yaitu aliran sungai kecil
di celah-celah persawahan itu, lagi-lagi sampah dan pendangkalan sungai.
Kemudian aku berbelok ke timur, ingin
menengok pohon jambu kelampok di pinggir sungai yang dulu menjadi korban pelampiasan
kebahagiaan kami, bunganya yang masih kuncup sering kami gunakan sebai peluru
dari alat sentolop mungil kami untuk main perang-perangan. Kini pohon itu sudah
tak terurus (memang dari dulu tidak ada yang mengurusi). Lilitan sampah telah
membuatnya kesulitan bernafas hingga tak bisa lagi berbuah dan daunnya
mengerut, seperti sudah menampakkan ketidak mampuannya untuk bertahan hidup.
Semakin ketimur, aku bertemu dengan
dam. Dulu dam ini juga menjadi pilihan kesekian untuk mandi, bermain. Masih tetap
dengan kondisi yang sama nasibnya dengan sungai lainnya, dangkal. Namun masih
lumayan karena airnya terbilang jernih dan sekilas tak ada sampah yang
mengerubungi. Dam inilah yang dulu dijadikan batas desa dusun krajan dan
plalangan.
Dari sni aku tak melanjutkan ke dusun
tetangga. Aku berbalik ke utara, bertemu dengan sungai lagi. Desaku ini kaya
akan sungai. Ku temui kembali jembatan beton dengan cat yang sudah mulai
mengelupas dan mushala kecil yang sudah rusak tak terurus. Di bawah jembatan
inila dulu juga pernah ku jadikan area bermain, berenang bersama laskar SJ (sumber
jeruk).
Tak jauh dari sungai ada surau milik
ustadz Baijuri. Dulu surau ini lebih ramai dari surau milik bapakku, karena
ustadz yang mengajar masih muda. Namun sekarang sih katanya juga sepi,
anak-anak desa tak banyak lagi yang mengaji. Namun masih lebih baik nasibnya
dari pada surau depan rumahku yang sudah tak difungsikan, bahkan sekedar tempat
shalatpun tidak. Mati suri saat bapakku sakit keras, hingga kini telah
berpulang ke rahmatullah, 3 thn sudah mati suri. Aku sebagai anaknya tak
berhasil melajutkan perjuangannya karena kala itu masih di pesantren dan kini
malah lebih jauh merantau ke Surabaya, meraup bulir-bulir ilmu. Tunggulah,
suatu saat nanti aku akan membangunkan surau ini dari tidur panjangnya.
Keadaan desaku, rumah-rumah yang
sudah rata berdinding bata. Padahal dulu masih ada yang bertahan dengan rumah
tadisional dari kayu dan bilik bambu. Sudah mentereng dimana-mana. Masjid Al-Ikhlas
yang seingatku mulai dibangun saat 5 tahun yang lalu, yang sampai kini masih belum
juga rampung pembangunannya. SD ku yang dulu bernama SDN Sumber jeruk III, kini
sudah berubah nama dengan SDN Sumber jeruk II. Dulunya pagarnya terbuat dari
semak, kini sudah dikelilingi dinding pembatas setinggi 2 meter, bangunannya
telah banyak di pernak sana-sini. Hanya 2 pohon ketapang dan satu pohon
beringin yang masih saja setia menaungi anak-anak yang bermain di bawahnya.
Tepat di belakang SD ada gudang
tembakau. Tempat bermain yang paling strategis saat istirahat sekolah, bermain benteng-bentengan. Berlarian kesana
kemari atau sekedar membuat ayunan dari karung atau bergelantungan di atap
dengan bantuan tali temali yang kami rajut.
Masa kecilku,masa tak terlupakan. Meski
aku sendiri sempat dijuluki “alake’ah burung” (kurang lebih artinya, “mau jadi
cowo ga’ jadi”, tapi lebih kasar). Aku bangga dengan masa kecilku. Banyak hal
yang mendukung kenakalan dan kebadunganku. Banyak area yang bisa kami jadikan
tempat bermain, termasuk persawahan samping rumahku, tempat kami mengadu
layangan kami dan bermain sepak bola ketika masa panen selesai. Pekarangan yang luas untuk bermain kasti,
gobak sudur, cak-cakar, gom ataupun “lombhungan”(lumbung-lumbungan),
Namun yang kulihat sekarang, anak kecilnya
seolah miskin permainan. Terlalu dimanja kemajua zaman, lebih suka
memencet-mencet HP atau seharian di depan televisi.
Perubahan semakin terasa pada
perilaku masyarakatnya. Surau-surau yang sepi itu sudah tak lagi terisi jama’ah
untuk tarawih atau tadarus, semuanya terpusat pada massjid. Ku lihat jama’ahnya
hanya kaum tua dan segelintir anak kecil. Padahal dulu masjid ini jama’ahnya
meruah hingga ke halamannya, surau-suraupun penuh. Saat tadaruspun setiap surau
berlomba meramaikan ramadhan, termasuk kami para pasukan badung.
Tapi sekarang Kemana para pemudanya ?
kemana teman-temanku yang dulu bersama dalam kejailan, yang dulunya ramai pada
tarawih dan tadarus, karena meski kami nakal masih mendapat didikan agama yang
ketat di surau. Kemana mereka ? jawabannya adalah di pinggir jalan, nongkrong
tak jelas, di depan televisi atau jadi orang sibuk mendadak di depan telepon
selular. Dan bahkan alasan cape’ menjadi pamungkas mereka. Ketika aku tanya
kenapa tidak tarawih, jawab mereeka, “masa muda itu harus dinikmati, kalau mau
tobat tunggu kalau sudah tua”. Astagfirullah, beginikah teman-temanku sekarang
? cara berdandannyapun lebih mirip berandal “dhebuk”, rambut panjang di semir.
Jika seperti ini, mau jadi apa desa
ini 10 tahun mendatang ? akan jadi seperti apa Indonesia nantinya jika pemudanya begini ?...aku ingin
melihatnya 20 tahun mendatang.
Aku faham, perubahan pasti ada. Karena
tandanya hidup adalah mengalami perubahan, tapi hidup akan jauh lebih berharga
jika perubahan itu baik. Aku masih akan tetap merindukan desa tercintaku ini
menjadi desa agamis seperti dulu masa kecilku. (LsNQ)
Komentar
Posting Komentar